Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Australia Beberkan Alasan Indonesia Terlambat Tutup Wilayah, Imbasnya Akan Terjadi...

Pakar Australia Beberkan Alasan Indonesia Terlambat Tutup Wilayah, Imbasnya Akan Terjadi... Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Canberra, Australia -

Sebuah penelitian memperingatkan tindakan drastis, hampir seperempat juta orang Indonesia bisa meninggal karena COVID-19 pada akhir April.

Peringatan itu mengemuka setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan keadaan darurat dengan istilah 'Pembatasan Sosial Berskala Besar', atau PSBB, hari Selasa (31/3/2020).

Baca Juga: KSP: PSBB Harus Dijalankan Konsisten

Presiden Jokowi menghindari penerapan 'lockdown', namun lebih memilih PSBB, menambah kewenangan polisi dan mengumumkan paket stimulus ekonomi senilai lebih dari Rp400 triliun.

Pemerintah RI juga mengumumkan semua warga negara asing kecuali diplomat, pekerja kemanusiaan dan mereka yang memiliki izin tinggal, akan dilarang memasuki Indonesia selama 14 hari.

Tapi John Matthews, seorang ahli epidemiologi dari University of Melbourne, menilai tindakan itu sudah terlambat.

"Jika mereka dapat secara efektif menutup perbatasan sebulan yang lalu, mereka seharusnya melakukannya saat itu," katanya kepada ABC.

"Dalam arti tertentu, sekarang sudah terlambat untuk dilakukan," tambahnya.

Mengingat kepadatan penduduk dan kemiskinan di Indonesia, katanya, "mengendalikan virus dalam kondisi sosial di Indonesia akan sangat sulit."

Kasusnya lebih tinggi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan hingga 1 April jumlah total kasus telah meningkat menjadi 1.677, sekitar setengahnya berada di Jakarta. Setidaknya 156 orang meninggal dan 103 sembuh.

Tingkat kematian akibat virus corona di Indonesia juga pernah menjadi yang tertinggi di dunia.

Tingkat pengujian COVID-19 di Indonesia termasuk yang terendah di dunia, hanya beberapa ribu tes yang telah dilakukan untuk seluruh populasi 270 juta orang.

Namun sejumlah pemodelan menunjukkan jumlah sebenarnya kasus infeksi di seluruh nusantara adalah puluhan ribu.

Sebuah studi terbaru yang dikeluarkan Universitas Indonesia memproyeksikan tanpa intervensi, Indonesia dapat mengalami 240.000 kematian pada akhir April akibat COVID-19.

Bahkan studi ini menyebutkan, dengan intervensi moderat, 48.000 orang Indonesia bisa mati, tetapi jumlahnya dapat diturunkan menjadi 12.000 dengan "intervensi intensitas tinggi".

Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memproyeksikan antara 100.000 dan 240.000 warganya bisa meninggal akibat virus corona, bahkan dengan menerapkan jarak fisik.

Di tahun 2017, Bank Dunia menyebutkan Indonesia hanya memiliki empat dokter untuk 10.000 penduduk.

Selain itu, diperkirakan tidak sampai tiga tempat tidur perawatan intensif per 100.000 penbduduk.

"Mereka bekerja dalam keadaan yang sangat sulit," kata Profesor Matthews.

"Kita harus berasumsi banyak kasus yang tidak diketahui dan berarti banyak kematian," ujarnya.

Tanggal 19 Maret lalu, Indonesia mengeluarkan aturan soal larang pertemuan massal, namun sebagian warga terus mengabaikannya.

Polisi secara paksa membubarkan pesta pernikahan dan acara lain yang tetap berlangsung meskipun ada larangan.

Polisi juga sempat turun tangan untuk mencegah pertemuan keagamaan di Tangerang, dengan meminta warga untuk melaporkan kepada pihak berwenang jika mendapatkan kejadian serupa.

Di Malaysia, kebanyakan kasus corona berasal dari pertemuan keagamaan yang dihadiri sekitar 16.000 orang di Kuala Lumpur, Februari lalu.

Setelah kegiatan itu, sebagian peserta kembali ke Indonesia, Brunei, Thailand dan Filipina.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemudian mengeluarkan fatwa, menyatakan masjid harus ditutup untuk menghindari penyebaran lebih lanjut.

Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia, minggu ini menyerukan umat Islam untuk menghindari tarwih selama Ramadhan, yang akan dimulai pada akhir April.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: