Pandemi COVID-19 memicu kejatuhan harga-harga saham dan obligasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Belakangan ini, harga-harga saham dan obligasi yang terkoreksi mulai naik kembali.
Di dunia keuangan, terutama investasi, ada istilah yang melegenda, yaitu “Peristiwa Angsa Hitam” (Black Swan Event Theory). Ini adalah sebuah peristiwa langka, yang berdampak besar, sulit diprediksi, dan terjadi di luar perkiraan biasa.
Tim BEI mengatakan yang disampaikan oleh Kepala BEI Wilayah Medan, Pintor Nasution bahwa saat ini, para pengambil kebijakan di dunia tengah melakukan stimulus terbesar dalam sejarah dunia, serta aturan physical distancing, dan berbagai perubahan lainnya yang bisa dikategorikan peristiwa Teori Angsa Hitam.
"Nah, di industri pasar modal, jika terjadi peristiwa Black Swan Event, momen ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal, yaitu pertama, melakukan realisasi keuntungan jika terjadi kenaikan pesat pada harga instrumen investasi (profit taking). Kedua, melakukan investasi jika terjadi koreksi harga (time to buy)," katanya, Jumat (3/4/2020).
Baca Juga: Meski Bursa Tokcer Tapi 10 Saham Ini Kena Apes Termasuk Perusahaan Punya Bang Sandiaga
Baca Juga: Ratusan Miliar Rupiah Dibawa Lari Asing, Tapi Bursa Tak Ambil Pusing!
BEI telah catat bahwa penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akibat pandemi COVID-19 yang dalam tentu sudah diketahui oleh semua orang. Pertanyaannya berapa “dalam” persentase penurunan yang bisa dikategorikan sebagai Black Swan Event? Apakah turun 10%, 20%, 30%? Kemudian berapa lama waktunya? Apakah 1, 3, 6 bulan, atau 1 tahun?
"Untuk menjawab pertanyaan di atas, berikut langkah dan hasil penelitian Black Swan Event pada pasar saham Indonesia seperti diulas pada Rudiyanto Blog," ujarnya.
Penelitian tersebut dilakukan dengan mengumpulkan data IHSG harian BEI dari Januari 2001 hingga 26 Maret 2020. Dalam penelitian tersebut, peneliti menghitung return 6 bulan IHSG untuk setiap data harian IHSG, mengurutkan data dari terendah ke tertinggi, membuatkurva distribusi normal untuk data return 6 bulanan IHSG, dan mendefinisikan5% data return terkecil dan 5% data return tertinggi sebagai Black Swan Event.
"Berdasarkan pengamatan, return 6 bulan terburuk IHSG adalah -87% dan return terbaik IHSG untuk periode 6 bulan +87%. Ini adalah return tertinggi yang bisa diperoleh secara historis dari investasi di IHSG selama 6 bulan," katanya.
Sementara, median untuk return 6 bulan IHSG adalah +7,2% yang bisa diartikan sebagai tingkat return dalam kondisi “normal”. Dari total 4.685 data, kemudian diurutkan dan dicari data 5% yang terbaik dan 5% yang terburuk.
"Untuk 5% terbaik, diperoleh data +41,44%. Secara statistik, kemungkinan (probabilitas) investor untuk mendapatkan tingkat return 6 bulan di IHSG antara +41,44% sampai dengan +87,26% adalah sangat kecil, yaitu hanya 5% saja,"katanya.
Artinya, menurut Rudiyanto, ketika investor berinvestasi di saham atau reksa dana saham, dan mendapatkan return +41,44% hingga +87,26% dalam kurun waktu 6 bulan atau kurang, maka sebaiknya segera direalisasikan atau lakukanlah profit taking.
"Untuk 5% terburuk, diperoleh data -19,77%. Secara statistik, kemungkinan (probabilitas) investor mendapatkan tingkat return 6 bulan di IHSG antara -19,77% sampai dengan -87,45% juga sangat kecil, yaitu hanya 5% saja.
Artinya, lanjut Rudiyanto, ketika seorang investor mendapatkan potensial return IHSG 6 bulan antara -19,77% sampai dengan -87,45%, maka sebaiknya segera beli karena kemungkinan dia untuk turun lebih dalam lagi sangat kecil, atau lakukanlah aksi time to buy," katanya.
Penentuan periode enam bulan ini diakui Rudiyanto memang bersifat subjektif. Pertimbangannya, antara lain, untuk satu dan tiga bulan terlalu pendek. Sementara itu, setahun dan ke atasnya terlalu panjang.
"Data return enam bulan dapat diakses secara mudah dan gratis oleh masyarakat melalui website, seperti RTI. Dengan mengacu pada data per tanggal 27 Maret 2020, walaupun IHSG sudah rally besar selama dua hari berturut-turut, dengan return enam bulan -27,05% (lebih buruk dari batas -19,77%), maka pergerakan IHSG selama 6 bulan terakhir dapat dikategorikan sebagai Black Swan Event, sehingga bisa menjadi kesempatan emas untuk masuk," katanya.
Pertanyaannya, jika buy and hold selama enam bulan, apakah pasti untung? Jawabannya tidak. Secara statistik, ada 14% kemungkinan (probabilitas) investor mengalami kerugian.
"Kinerja IHSG enam bulan setelah Black Swan Event dengan cutoff -20%, adalah tertinggi +87%, terendah minus -42% dan rata-rata +31%. Angka rata-rata ini dapat menjadi acuan kapan investor sebaiknya merasa puas dan profit taking," katanya.
Jika buy and hold selama sembilan bulan, kemungkinan (probabilitas) rugi turun dari 14% menjadi 9%. Dengan range return antara -13% hingga +108%. Rata-rata return-nya adalah 53%. Untuk periode satu tahun sekalipun, ternyata, kemungkinan (probabilitas) untuk mengalami kerugian tidak bisa mencapai 0%, karena masih ada peluang 0,45% investor mengalami kerugian.
"Hanya saja, range return menjadi lebih baik, yaitu -6% hingga +116%. Dengan mengacu pada statistik yang diamatinya, maka holding period setelah Black Swan Event, menurut Rudiyanto, sebaiknya minimal satu tahun," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Khairunnisak Lubis
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: