Perang harga minyak mentah yang terjadi sejak bulan Maret lalu telah membuat harga Brent Crude Oil, sebagai salah satu patokan utama untuk pembelian minyak di seluruh dunia, berada di level terendah sejak 2016.
Kondisi ini terjadi karena OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) memutuskan untuk memangkas produksi minyak mentah sebanyak 2,1 juta barel/hari dengan reduksi produksi terbesarnya dilakukan oleh Arab Saudi. Sementara itu, Rusia menolak untuk mengikuti usulan tersebut. Ketidaksepakatan antara Arab Saudi-Rusia menjadikan masing-masing negara berencana untuk meningkatkan produksi minyak sehingga berdampak pada merosotnya harga minyak mentah dunia.
Baca Juga: Indonesia Rebut Pasar Ekspor Sawit Malaysia? Mungkinkah?
Mengutip PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit), sebelumnya, U.S. Energy Information Administration (EIA) memproyeksi harga Brent Crude Oil sebesar US$ 61,25/barel pada 2020. Setelah terjadinya oil price war, harga tersebut direvisi menjadi US$ 43,3 di 2020 (turun 32,73 persen dari tahun sebelumnya).
Namun, harga Brent Crude Oil mulai melonjak kembali sejak awal April. Hal ini diduga karena OPEC akan mengadakan pertemuan pada 9 April untuk merancang ulang kesepakatan antara Arab Saudi-Rusia sehingga kemungkinan perdamaian keduanya dapat terjadi.
Penurunan harga minyak mentah ini juga berdampak terhadap penurunan harga minyak nabati lain, termasuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Data CIF Rotterdam mencatat harga rata-rata CPO selama bulan Maret 2020 yang sebesar US$ 635,23/MT menurun hingga 12,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Mengutip hasil studi simultan dari tim kajian PPKS menunjukkan bahwa apabila harga minyak mentah turun 10 persen, harga CPO turun sebesar 3,07 persen dan minyak kedelai turun sebesar 1,6 persen. Sebaliknya, apabila harga minyak mentah naik 10 persen, harga CPO hanya naik sebesar 3,38 persen dan minyak kedelai naik sebesar 10,15 persen.
Kondisi ini diperparah dengan merebaknya kasus Covid-19 yang menjadi bencana global. Hingga saat ini, lebih dari 200 negara mengonfirmasi terinfeksi Covid-19. Negara-negara importir CPO seperti China, Uni Eropa, dan Amerika telah melakukan lockdown dan menyebabkan permintaan CPO menurun.
Berdasarkan kajian PPKS, Covid-19 akan memengaruhi persediaan minyak nabati, termasuk CPO, antara negara importir dan eksportir. Puncak Covid-19 yang diperkirakan tejadi pada Maret sampai Juni 2020 juga akan menyebabkan CPO kehilangan momentum harga dan rebound kembali dari awal sampai akhir Idulfitri 2020. Lockdown akan berdampak hingga Juli sampai Desember 2020 sehingga persediaan dan harga CPO selanjutnya dipengaruhi oleh produksi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum