Sebuah studi yang dilakukan oleh Europe Economics dengan judul "Dampak ekonomi terhadap impor minyak sawit di Uni Eropa pada tahun 2014" menemukan bahwa penggunaan minyak sawit di UE telah menciptakan lingkaran ekonomi yang cukup besar setiap tahun.
Tidak hanya berkontribusi terhadap lapangan pekerjaan sebanyak 117.000 pekerjaan, tetapi juga impor minyak sawit yang dilakukan oleh 16 negara anggota UE turut menyumbang PDB sebesar €5,8 miliar dan pendapatan pajak sebesar €2,6 miliar. Negara anggota UE seperti Italia, Spanyol, Jerman, Perancis, Belanda, dan Finlandia merupakan negara yang memiliki industri hilir dengan penggunaan minyak sawit untuk oleochemical, makanan, dan biodiesel terbesar di UE.
Baca Juga: Meski Replanting Sawit, Petani Tetap Berduit!
Mengutip data dari Palm Oil Indonesia, UE mengimpor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia sebanyak 6,4 juta ton setiap tahunnya. Sekitar 60 persen dari impor minyak sawit tersebut digunakan untuk industri makanan, bahan kosmetik, dan produk kebersihan. Sementara, 40 persen lainnya digunakan sebagai bahan bakar dan pembangkit listrik.
Penggunaan minyak sawit sebagai sumber energi merupakan bagian dari Petunjuk Efisiensi Energi Uni Eropa atau EU’s Energy Efficiency Directives (Directive 2009/28/EC) yang menetapkan bahwa 20 persen dari keseluruhan pangsa di UE pada 2020 harus berasal dari sumber energi terbarukan. Pedoman ini diberlakukan UE sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) karena UE memiliki wilayah tertinggi penghasil emisi gas di dunia.
Untuk mencapai target tersebut, UE harus mengimpor minyak nabati termasuk minyak kelapa sawit. Di UE, produksi minyak nabati seperti minyak rapeseed dan bunga matahari masih jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati sebagai bahan bakar.
Hal itu disebabkan sebagian besar minyak nabati yang dihasilkan di UE digunakan untuk makanan. Sebagian besar lahan di UE telah digunakan untuk menghasilkan minyak nabati sebagai campuran makanan sehingga tidak mungkin lagi memperluas lahan untuk menanam lebih banyak rapeseed dan bunga matahari untuk memenuhi kebutuhan sumber energi.
OECD (2006) memperkirakan bahwa jika 10 persen dari konsumsi bahan bakar fosil tersebut diganti dengan biofuel, UE harus mengubah 70 persen dari lahan pertaniannya menjadi tanaman minyak nabati. Kondisi ini tentunya bukan merupakan pilihan bagi UE dan satu-satunya solusi ialah dengan mengimpor minyak nabati termasuk minyak sawit dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan negaranya.
Dengan kata lain, minyak kelapa sawit datang sebagai bagian dari solusi untuk dilema trade-off pangan dan bahan bakar yang dihadapi oleh UE. Jika impor minyak sawit dihentikan, UE akan menghadapi banyak masalah seperti kenaikan harga pangan, penurunan produksi biofuel, serta arahan energi yang tidak dijaga. Tidak hanya itu, sumbangan devisa dari minyak sawit untuk UE juga akan berkurang dan hilang.
Mengutip Palm Oil Indonesia, meskipun minyak kelapa sawit sangat penting bagi UE, tetapi juga benar bahwa negara anggota UE sering mempersulit petani Indonesia dalam melakukan pekerjaan mereka. Menteri Ekologi Perancis bahkan pernah menyerukan boikot terhadap produk Nutella karena dibuat dengan menggunakan minyak kelapa sawit.
Pemerintah Uni Eropa sering secara kolektif mengancam untuk memberlakukan impor bea masuk kelapa sawit yang sangat tinggi. Sungguh aneh melihat bagaimana perilaku UE belakangan ini. Pernyataan mereka tidak selalu sesuai dengan tindakan mereka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: