Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan pihaknya tidak akan mencetak uang tambahan untuk menambah dana maupun likuiditas perbankan atau menambal defisit anggaran pemerintah. Pertimbangannya, ia tidak ingin mengulang kasus BLBI yang menyebabkan inflasi hingga 67 persen.
"Salah satunya, BLBI kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah. Surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunga mendekati nol. Kemudian inflasi naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah, likuiditas. Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," kenang Perry.
Dalam hal ini, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain demi menambah likuiditas. Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli SBN di pasar sekunder. Perluasan operasi moneter juga dilakukan demi menambah likuiditas.
Selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelamahan ekonomi akibat pandemi corona.
"Beda dengan yang kita lakukan sekarang. Operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup. Itu yang kami sebut dengan quantitative easing," pungkas Perry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: