Harapan untuk IA CEPA: Mampu Tingkatkan Perekonomian dan Ketahanan Pangan Indonesia
Kemitraan Indonesia dengan Australia dalam kerangka Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) diharapkan mampu mendatangkan manfaat untuk kedua belah pihak, terutama dalam bidang ekonomi. Australia merupakan salah satu mitra dagang strategis Indonesia.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, ratifikasi IA CEPA diharapkan mampu meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia lewat penguatan keberadaan Indonesia di dalam Global Value Chain (GVC) atau rantai pasok global. Penguatan posisi Indonesia dalam GVC pada akhirnya dapat menjadikan negeri ini sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. GVC sendiri berkontribusi hampir 50% pada perdagangan global.
Baca Juga: CIPS: New Normal Harus Pulihkan Konsumsi Masyarakat, Kalau Tidak Sia-sia
Selain itu, diharapkan Australia dapat berinvestasi pada sektor-sektor yang strategis di Indonesia. Harapan ini sangat beralasan mengingat Indonesia selama ini lebih banyak mengekspor produk mentah karena belum mampu memberikan nilai tambah atau value added kepada produk yang dihasilkan.
"IA-CEPA juga ditargetkan mampu memperlebar akses promosi dan penanaman modal, economic powerhouse, pengembangan sumber daya manusia Indonesia dan program-program kerja sama ekonomi bagi Indonesia. Namun, hal ini perlu diikuti adanya perbaikan-perbaikan di dalam negeri, seperti reformasi regulasi yang memungkinkan masuknya lebih banyak investor Australia ke berbagai sektor di Indonesia," jelasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (23/6/2020).
BKPM mencatat Australia sebagai kontributor Foreign Direct Investment (FDI) terbesar ke-10 di Indonesia pada 2019 dengan investasi lebih dari AU$500 juta di semua sektor kecuali minyak dan gas serta jasa keuangan. Jumlah ini masih terbilang kecil kalau dibandingkan dengan nilai investasi Amerika Serikat di Indonesia yang tiga kali lebih besar sebagaimana juga China. Total perdagangan barang dan jasa antara kedua negara adalah senilai AU$17,8 miliar pada 2018-2019. Menurut Pingkan, jumlah ini masih dapat ditingkatkan mengingat hubungan diplomatik kedua negara yang sudah berlangsung selama 70 tahun.
Pingkan mengatakan, salah satu yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan investasi Australia di sektor-sektor potensial adalah dengan reformasi regulasi. Rumitnya regulasi di Tanah Air sudah sering disebut sebagai salah satu hambatan masuknya FDI. Regulasi yang ada hendaknya dibuat lebih sederhana, terintegrasi antara pusat dan daerah dan lebih efisien secara waktu. Hal ini, lanjutnya, tidak cukup hanya lewat revisi satu regulasi tertentu, tapi perlu melihat ke regulasi di Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, berbagai hambatan nontarif yang diterapkan oleh pemerintah juga perlu dievaluasi.
Menjelang implementasinya per 5 Juli 2020 mendatang, IA CEPA juga diharapkan mampu turut berkontribusi pada ketahanan pangan Indonesia. Peternak sapi di dalam negeri masih belum menggunakan cara beternak yang efisien. Selain itu, ketersediaan modal yang memadai untuk memelihara sapi juga mendorong sebagian besar peternak fokus pada pembiakan sapi potong. Hal inilah yang menjadikan ketersediaan sapi bakalan lokal menjadi minim.
Kebutuhan gula domestik yang tinggi juga masih belum mampu dipenuhi petani tebu lokal. Adanya kemitraan yang memungkinkan terjadinya transfer knowledge dan juga berbagai kemudahan untuk impor beberapa komoditas pangan ini tentu diharapkan bisa tercapai lewat kesepakatan ini. Adanya demand yang dapat terus dipenuhi oleh supply tentu akan memperkuat ketahanan pangan Indonesia.
Berdasarkan data dari The Atlas of Economic Complexity, total nilai ekspor Indonesia ke Australia mencapai US$2,8 miliar di 2018. Beberapa komoditas ekspor Indonesia ke Australia di antaranya adalah minyak mentah, minyak bumi olahan, dan kayu berbentuk. Sementara itu, di tahun yang sama, nilai impor Indonesia dari Australia mencapai US$5,82 miliar dengan beberapa komoditas di antaranya adalah briket batu bara, minyak bumi, dan gandum.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa Australia merupakan pemasok impor daging sapi terbesar bagi Indonesia dengan nilai impor mencapai 85 ribu ton atau sekitar 53% dari total impor seberat 160.197 ton. Adapun nilai impor daging sapi dari Australia mencapai US$296,3 juta setara Rp4 triliun dari total nilai impor Rp7,7 triliun. Tidak hanya impor daging sapi, Indonesia juga mengimpor gandum, hewan hidup jenis lembu serta gula mentah atau tebu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum