Menurutnya, berdasarkan norma-norma yang terkandung dalam peraturan-peraturannya, dan sejalan dengan sifatnya yang “kompromistis”, hukum menengahi persoalan tersebut termasuk dengan menetapkan “siapa yang berwenang” menentukan “orang yang kompeten, bahkan paling kompeten”.
"Namun, dan ini penting untuk dipahami semua pihak, siapa pun yang oleh hukum ditetapkan berwenang menentukan siapa yang paling kompeten, keabsahan pelaksanaan kewenangan ini tidak terletak pada pernyataan bahwa benar orang yang ditetapkan itu paling kompeten," melainkan terletak pada pernyataan bahwa "benar terdapat pejabat tertentu yang berwenang untuk menilai dan menetapkan seseorang sebagai kompeten", paparnya.
Akan tetapi, publik tentu perlu mengapresiasi sikap kritis wakilnya karena melalui kritik itulah urat nadi demokrasi benar-benar hidup dan terus bertahan. Tetapi di sisi lain, publik juga berkepentingan untuk mengingatkan wakilnya bahwa satu-satunya alasan sah suatu “kritik” adalah kepentingan publik itu sendiri, bukan yang lainnya, sehingga roh suatu kritik termasuk argumen tentang makna berikut kriteria kompetensi benar-benar dimaksudkan untuk menemukan "the most competent candidate”.
"Bukankah kritik itu adalah cara lain untuk mengawal kebenaran daripada puji-pujian? Seseorang boleh saja berdebat mengenai kompetensi, tetapi meminjam istilah "quot homines tot sententiae", perbedaan pandangan mengenai kompetensi bagaimanapun merupakan diskursus yang mustahil tuntas, dan dalam situasi inilah, hukum tidak mungkin di lihat dengan mengabaikan "batas-batas justifikasi deduksi," lanjutnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil