Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Huru-Hara Reklamasi Ancol Anies Baswedan

Huru-Hara Reklamasi Ancol Anies Baswedan Kredit Foto: Antara/Suwandy

Pengamat tata kota, Yayat Supriatna juga menilai reklamasi Ancol hanya akan menguntungkan pihak pengelola. Reklamasi lebih untungkan pengelola ketimbang warga Jakarta itu sendiri.

"Walaupun Pantai Ancol termasuk ruang publik, tapi pengelolaannya bersifat privat, pengunjung harus membayar untuk bisa masuk kawasan. Pengelola Ancol yang nanti akan lebih diuntungkan," kata Yayat Supriatna di Jakarta, Senin (6/7).

Baca Juga: Izin Reklamasi Ancol Secepat Kilat, Pengamat: Tanda Tanya Besar

Saat ini, harga tiket masuk Ancol dibagi menjadi tiga kategori: tiket individu Rp25.000 per orang, tiket mobil Rp25.000 per unit, dan tiket motor Rp15.000 per unit. Merujuk Undang-Undang Tata Ruang, lanjut Yayat, pantai termasuk ruang publik dan Jakarta adalah kota pantai di mana warganya tidak bisa mengakses pantai secara gratis.

"Masuk Ancol harus bayar karena kategori taman pariwisata. Padahal, pantainya itu adalah ruang publik," kata Yayat.

Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Teuku Sahir Syahali menyebutkan, perluasan daratan atau reklamasi yang dilakukan melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 agar Ancol tetap bertahan di dunia rekreasi internasional.

"Kalau pengembangan Ancol ini kecil, tidak sekalian besar dan ekspansi yang bagus, ketika ada kompetitor besar dan mempunyai modal besar, Ancol bisa selesai. Kemudian kan yang diamanahkan ke kita adalah inovasi," kata Sahir di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, usai rapat bersama Komisi B DPRD DKI Jakarta, Rabu (9/7), Sahir juga menerangkan, pengembangan Ancol dengan tempat rekreasi milik dalam negeri itu dapat menahan devisa untuk tidak keluar negeri. Jika tempat rekreasi milik dalam negeri menyediakan destinasi wisata berkelas internasional, sedikit wisatawan domestik yang akan memilih untuk ke luar negeri.

"Artinya, kita bisa menahan devisa keluar," kata dia.

Manajemen PT Pembangunan Jaya Ancol juga menolak proyek perluasan kawasan Ancol dengan total luas 155 hektare seperti tertera dalam SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 disebut sebagai proyek reklamasi.

"Ini perluasan daratan. Kan nempel darat," kata Teuku Sahir.

Adapun sejumlah nelayan di Teluk Jakarta menyebutkan bahwa proses reklamasi di pesisir pantai Ancol sudah dilakukan sejak belasan tahun lalu. Sebagian nelayan mengaku terdampak reklamasi. "Dulunya di sini semua laut, belum seperti sekarang ini," kata salah seorang nelayan, Daeng Darwis, saat ditemui Antara, di Jakarta, Sabtu (11/7).

Daeng mengatakan, dirinya sudah menjadi nelayan dan mengoperasikan kapal di Teluk Jakarta sejak puluhan tahun lalu. Saat itu, dia menyewakan kapal untuk mengangkut para pekerja yang memindahkan pasir pantai dari tongkang ke kapal kecil, menuju pantai Ancol.

Seiring berjalannya waktu, penimbunan laut terus dilakukan Ancol hingga saat ini. Setiap hari beberapa truk bermuatan hasil kerukan lumpur sungai dibuang ke lokasi reklamasi di pesisir pantai Ancol.

Hal senada disampaikan Reza, salah seorang nelayan pukat kambang yang turut menyaksikan perjalanan reklamasi di pesisir Pantai Ancol. Akibat reklamasi itu, puluhan nelayan itu merasakan dampak karena makin susahnya akses mereka untuk mendapatkan tempat berlabuh kapal.

"Sebagian besar nelayan paham dampak reklamasi, tetapi tidak tahu menyampaikan harapan dan masukan kepada siapa," kata Reza.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: