Sultan Hamid II-Amir Sjarifuddin, Sosok Besar di Selubung Sejarah
Setelah 22 tahun reformasi, sejarah sepertinya bukan lagi menjadi narasi milik penguasa, melainkan menjadi wacana publik yang tidak lagi berwajah tunggal.
Sebagian masyarakat tidak lagi takut atau malu-malu untuk mengungkap narasi sejarahnya sendiri, yang selama ini barangkali dibungkam atau tak pernah disebut secara adil dalam sejarah resmi.
Pengusulan sosok Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional barangkali merupakan bagian dari arus tersebut. Dia adalah perancang lambang negara Burung Garuda Pancasila, yang namanya dilupakan setelah divonis terlibat kudeta Westerling 1950.
Demikian pula keinginan sejumlah pihak supaya mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin yang dieksekusi mati karena dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948 diberi tempat selayaknya dalam sejarah, sepertinya mewakili suara-suara yang selama ini ditindas.
Namun masalahnya kemudian, bagaimana menempatkan kedua sosok itu secara adil dalam ilmu dan narasi pada panggung sejarah Indonesia?
Apakah masyarakat, yang sebagian masih terbelah secara ideologis dan dihinggapi sisa-sisa residu trauma kolektif konflik di masa lalu, siap menerima perbedaan?
Lantas bagaimana sejarawan menawarkan perspektifnya di tengah kekosongan teks peristiwa sejarah tertentu, himpitan kepentingan kekuasaan, serta sikap sebagian masyarakat yang masih berpikiran sempit?
BBC News Indonesia kali ini menyoroti sosok Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, yang di satu sisi dianggap pengkhianat atau pemberontak, namun di sisi lainnya dianggap berjasa atau bahkan layak diusulkan sebagai pahlawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: