Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendesak pemerintah menghapus pengenaan tarif produk farmasi guna menjaga kelangsungan pasokan obat selama dan sesudah pandemi Covid-19.
Associate Researcher CIPS Andree Surianta mengutip laporan Geneva Network berjudul Abolishing pharmaceutical and vaccine tariffs to promote access, mengatakan bahwa bea masuk dalam bentuk tarif untuk produk farmasi berkontribusi besar pada kenaikan harga obat.
Melalui siaran persnya (13/8/2020), dia sampaikan, "tarif terhadap obat-obatan pada dasarnya seperti pajak regresif karena lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah daripada yang berpenghasilan tinggi."
Baca Juga: Vaksin Made In China Belum Berabel Halal, Ridwan Kamil Buka Suara
Baca Juga: Tangan Kanan Baru Erick Pede Kesehatan & Ekonomi RI Bangkit Lagi
Indonesia sebenarnya sudah mengurangi tarif untuk produk farmasi dalam beberapa tahun terakhir, tetapi masih menerapkan tarif rata-rata obat sebesar 3,8%, dan 3,3% untuk vaksin. Selain itu, Indonesia malah memperluas kategori obat-obatan yang dikenakan tarif, dari 14 kategori pada 2001 menjadi 66 kategori dua tahun lalu.
"Kemungkinan ini untuk menutupi kekurangan pemasukan negara dari penurunan besaran tarif. Mengingat rantai nilai manufaktur farmasi semakin mengglobal, tarif-tarif yang kelihatannya rendah akan berdampak kumulatif pada harga akhir produk jadi yang akhirnya dibayar oleh pasien," jelasnya.
Analisis tersebut diperkuat oleh studi yang terbit tahun 2017 oleh European Centre for International Political Economy bahwa penghapusan tarif obat-obatan akan menghemat pengeluaran total pasien di Indonesia hingga mencapai US$252 (sekitar Rp3,7 juta).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti