Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Di Era 5G, Perbankan Hadapi Dua Tantangan Besar Ini

Di Era 5G, Perbankan Hadapi Dua Tantangan Besar Ini Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Teknologi telah mengubah kehidupan; mengubah wajah industri dan peradaban. Tak terkecuali, perbankan. Semua berawal dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat sejak era 2G berganti 3G, kemudian 4G hingga kini menghadapi era 5G. Era 3G yang dimulai 2003 telah melahirkan banyak startup dunia seperti Amazon.com, Ebay.com, Uber, AirBnB yang kini tumbuh menjadi raksasa dunia.

Di Indonesia, era 3G yang dimulai 2006 juga mendorong lahirnya startup digital seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak, Tokopedia yang kini tumbuh menjadi perusahaan digital dengan valuasi miliaran dolar AS. Bisnis mereka terus tumbuh dengan tiga pilar utama yakni platform, ekosistem, dan omnichannel yang telah mengubah paradigma dalam berbisnis—di mana pertumbuhan aset bukan lagi segalanya.

Baca Juga: 5 Negara yang Boikot Teknologi 5G Huawei, Bukan Cuma Inggris?

Arwin Rasyid, mantan bankir yang juga pernah memimpin PT Telkom tepat saat Indonesia memasuki era 3G, melihat potensi ponsel yang luar biasa—tak hanya menjadi alat telekomunikasi, tetapi juga alat transaksi keuangan. Visinya ia wujudkan setelah bertugas di Telkom dan menjadi CEO Bank CIMB Niaga. Ia bertekad membawa Bank CIMB Niaga menjadi salah satu bank digital terkemuka di Indonesia.

Salah satu produk digital legacy dan pionir CIMB Niaga di era Arwin Rasyid adalah Rekening Ponsel—sebuah dompet digital (e-wallet) perbankan pertama di Indonesia bahkan Asia yang menggunakan Nomor Ponsel sebagai Nomor Rekening. Artinya, melalui Rekening Ponsel seseorang dapat melakukan transaksi perbankan seperti pembelian, pembayaran, transfer, tarik tunai di ATM—tanpa harus memiliki rekening di bank.

Namun, menjadi yang pertama ternyata tidak serta merta menjadi yang terbesar. Dompet digital yang kini menguasai pasar digital payment ternyata tak ada satu pun yang dimiliki perbankan, tetapi dimiliki oleh perusahaan fintech. Sebut saja: Gopay, DANA, dan OVO. Mereka tidak hanya berhasil memberikan layanan keuangan digital melalui ponsel dan tablet yang nyaman, mudah, dan cepat bagi para penggunanya, tetapi mereka juga berhasil menghimpun "dana termurah" yaitu dana dengan bunga 0% dari masyarakat—yang merupakan dambaan industri perbankan.

Tak hanya mengalahkan dompet digital milik perbankan, fintech P2P lending juga mulai berhasil meraih kepercayaan masyarakat melalui berbagai kemudahan dan kecepatan proses pengajuan pinjaman dan persetujuan yang diberikan. Semua dimungkinkan dengan bantuan teknologi digital. Meski saat ini jumlah dana yang disalurkan melalui fintech P2P lending ini masih kecil, di bawah 1%, dibanding total kredit yang disalurkan perbankan, hanya soal waktu saja fintech P2P lending tersebut meraih kepercayaan dan menjadi pilihan alternatif masyarakat dalam mendapatkan pinjaman selain dari perbankan.

Meski penetrasi layanan fintech di Indonesia baru 5%, di berbagai negara cukup tinggi: China 67%, Hong Kong 57%, New Zealand 54%, India 39%, Australia 17%. 

Data-data global memberikan optimisme, antara lain: Alipay dan WeChatPay di China memecahkan rekor volum transaksi pembayaran digital senilai US$12,8 triliun (Jan-Oct 2019) jauh melampaui volum transaksi digital payment di AS yang nilainya US$49,3 miliar di periode yang sama. Begitu pula, total penyaluran dana fintech P2P lending di seluruh dunia mencapai US$312 miliar atau Rp4586,4 triliun. Tumbuh 25% per tahun.

Bagaimana perbankan harus menyikapi perkembangan bisnis fintech ke depan? Itulah pertanyaan besar yang ingin dijawab Arwin Rasyid dalam bukunya yang berjudul Digital Banking Revolution-Belajar dari Digital CIMB Niaga & Tips Bertahan di Era Fintech.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: