Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) diperkirakan tidak akan mampu bertahan hingga akhir tahun 2020, terlebih karena terdampak pandemi Covid-19. Hal itu karena selama ini tidak ada koordinasi kebijakan antarinstansi pemerintah terhadap industri TPT dan regulasi yang ada justru membunuh industri tersebut.
"Persoalan fundamental di industri ini adalah justru regulasi-regulasi yang ada sekarang malah membunuh industri TPT. Kalau tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk membangun keterkaitan industri dari hulu ke hilir, semua kebijakan hanya retorika," ungkap Enny Sri Hartati, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam acara Forum Discussion Group (FGD) di Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Baca Juga: Pak Presiden, Indef Punya Usul untuk Industri Keuangan Tanah Air, Ini Isinya...
FGD yang bertemakan "Upaya Pemulihan Ekonomi dan Industri Tekstil di Indonesia" menghadirkan pembicara Jemmy Kartiwa Sastraatmadja (Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia), Sunarso (Ketua Himbara/ Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk), Enny Sri Hartati (Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance/(Indef), dan Muhammad Khayam (Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian).
Menurut Enny, selama ini pemerintah tidak memiliki kebijakan pengembangan industri TPT yang konkret dari hulu dan hilir. Sementara yang dihadapi oleh industri TPT adalah bea masuk bahan baku impor tinggi, sedangkan pakaian jadi (garmen) tarifnya free.
"Kalau pun kita bisa mengekspor, pasti daya saingnya rendah karena harga bahan baku yang diimpor tidak kompetitif. Bahkan, di dalam negeri pun kalah bersaing dengan produk garmen impor. Lama-lama industri TPT bukan cuma merosot, malahan bisa habis," tegas Enny.
Dia menegaskan, persoalan yang dihadapi industri TPT adalah akibat salah urus. Bahkan, masalah ini bukan terjadi saat pandemi Covid-19, melainkan sudah terjadi sejak 10 tahun lalu. Menurutnya, pangkal dari pemasalahan yang dihadapi industri tekstil adalah permasalahan tarif bea masuk bahan baku sehingga menyebabkan ketidakmampuan industri untuk bersaing dengan produk impor di pasar dalam negeri.
"Rata-rata pertumbuhan ekspor tekstil selama 10 tahun terakhir hanya 3%, sedangkan impor tumbuh 10,4%," terangnya.
Dampak yang paling dirasakan oleh industri TPT adalah pengurangan tenaga kerja, kesulitan membayar pinjaman bank, dan yang paling parah adalah penutupan operasi usaha. Bahkan bila masalah ini tidak segera diselesaikan, Enny memprediksi di akhir tahun ini industri TPT di Indonesia akan mati karena tidak adanya dukungan dari pemerintah.
"Kebijakan industri tidak hanya di Kementerian Perindustrian, tapi juga banyak kementerian, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, serta stakeholder lainnya."
Enny mengingatkan, Kemenperin harus secara konprehensif membahas positioning industri TPT. "Kemenperin harus ngobrol dengan kementerian terkait bagaimana cara-cara terstruktur karena kebijakan ini by design. Artinya, design kebijakan ini harus ada upaya-upaya yang terstruktur dan massif, bagaimana bentuk pohon industrinya,” sambungnya.
Hal senada ditegaskan oleh Jemmy Kartiwa Sastraatmaja. Dia menjelaskan, nilai ekspor pada Maret 2020 anjlok 60% dibandingkan dengan bulan sebelumnya sehingga berimbas pada sekitar 2,1 juta tenaga kerja yang dirumahkan, akibat makin melemahnya daya beli masyarakat. Menurut Jemmy, pelonggaran Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak serta merta membuat industri tekstil kembali hidup. Sebab, banyak pengusaha yang kehabisan modal untuk membayar upah selama masa PSBB dan pembayaran cicilan dan bunga pada bank.
Karena itu, Jemmy mewakili para pengusaha tekstil meminta pemerintah membantu usaha mereka. Di antaranya, Pertama, pemerintah membuatkan aturan yang mengatur importansi pakaian jadi di Indonesia. Kedua, pemberian bantuan yang bersifat cepat untuk menggerakkan TPT berupa subsidi listrik selama satu tahun.
"Ketiga, bantuan berupa tambahan modal kerja dan subsidi bunga bagi industri TPT, terutama yang berstatus collect 1 sebelum Covid-19. Terakhir, opsi berupa subsidi tarif listrik sebesar 25 persen atau pemberian diskon tarif listrik pada jam 22:00-06:00," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum