Namun, kini kasus Covid-19 di dua negara tersebut tertangani. Pandemi terkendali dengan tingkat kematian yang sangat amat jauh lebih rendah dibandingkan negeri tercinta kita ini. Alhasil, pemulihan ekonomi di dua negara tetangga Indonesia tersebut sepertinya prosesnya bakal lebih cepat.
Sementara yang terjadi di Indonesia, penyebaran virus corona semakin parah. Setiap hari angka penambahan kasus positif sudah konsisten di atas 3.000-an orang positif Covid-19. Belum ada tanda-tanda kurva bakal menurun. Yang terjadi sebaliknya. Tidak lama lagi angka laporan harian bisa menyentuh 4.000 orang.
Itu pun beberapa hari terakhir, sumbangan kasus dari DKI Jakarta mencapai 1.000 orang positif per hari. Angkanya terbilang besar lantaran kemampuan tes Pemprov DKI memang tinggi, dan bahkan melebihi standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara di provinsi lain, kemampuan tes terbilang rendah. Alhasil, temuan kasus positif Covid-19 juga sedikit. Sehingga jangan bangga jika ada provinsi dengan laporan harian sedikit maka hal itu lantaran jumlah warga yang menjalani tes usap juga di bawah ketentuan WHO.
Di sini lah akar permasalahannya. Ketika mendapat kode RI 1 mulai berubah arah dengan mengutamakan kesehatan, Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan melihat hal itu sebagai peluang untuk menangani penyebaran Covid-19 secara lebih tegas. Dia pun di Balai Kota DKI pada Rabu (9/9) malam WIB, mengadakan konferensi pers. Dengan tegas, Anies ingin memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total, menggantikan PSBB transisi yang terbukti tidak efektif mengerem laju penambahan angka positif virus corona.
Anies sepertinya yakin keputusannya kali ini didukung oleh pemerintah pusat. Tentu saja keyakinan itu bersumber dari kode yang disampaikan Jokowi, yang tiba-tiba tidak lagi memaksakan untuk memulihkan ekonomi selama penanganan kesehatan belum terkendali. Namun apa lacur. Anies sepertinya salah langkah. Keputusannya yang ingin membatasi mobilitas masyarakat yang berisiko menahan geliat ekonomi tidak disetujui pemerintah pusat.
Jika pada medio Maret lalu, keputusan Anies yang ingin melakukan karantina wilayah dan pembatasan transportasi di Ibu Kota dianulir Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan, kali ini yang maju sebagai penyambung lidah pemerintah pusat adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Tanpa tedeng aling-aling, Airlangga langsung melempar kesalahan ke Anies yang dianggap membuat indeks saham harga gabungan (ISHG) jatuh karena sentimen kabar buruk dari DKI 1.
Tidak sampai di situ, Airlangga juga membantah jika fasilitas kesehatan di Jakarta jumlahnya terbatas. Alhasil, ia ingin mengoreksi langkah yang ditempuh Anies dengan menarik rem darurat yang dianggap bisa membuat pertumbuhan ekonomi nasional menjadi tertekan.
Dengan kata lain, Airlangga yang mewakili sikapJokowi ingin mementalkan kebijakan Anies terkait pemberlakuan PSBB total mulai Senin (14/9). Karena jika PSBB total berlaku maka konsekuensinya memang pertumbuhan ekonomi bakal tertahan. Namun, apakah mereka tidak memikirkan jumlah kematian yang juga terus bertambah akibat penularan Covid-19 tidak terkendali?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman