Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menjelaskan Industri Hasil Tembakau (IHT) telah mengalami tekanan yang luar biasa dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Situasi ini terlihat dari tekanan yang dihadapi industri akibat kenaikan cukai sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) yang cukai naik sebesar 35% yang berakibat pada penurunan produksi.
"Kebijakan ini berdampak pada 5,8 juta orang yang terlibat langsung di IHT," jelas Budidoyo pada seminar virtual Menimbang Dampak Ekonomi Terkait Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok 2021, Kamis (17/9/2020), di Jakarta.
Baca Juga: Disebut Penggerak Ekonomi, Sektor Properti Butuh Perhatian Lebih dari Pemerintah
Budidoyo mengatakan, selain kenaikan cukai, kebijakan pemerintah lainnya seperti upaya pengendalian konsumsi tembakau akan menjadi tantangan yang serius di masa depan.
"Ada wacana eksesi FCTC, petani juga resah karena petani disuruh konversi ke tanaman lain, belum lagi revisi PP 109 Tahun 2012 yang akan membebani industri," kata Budidoyo.
Seperti diketahui, selama dua tahun terakhir wacana revisi PP 109/2012 didorong oleh Kementerian Kesehatan untuk melegalkan perluasan gambar peringatan kesehatan dari 40% menjadi 90% dan pelarangan total promosi dan iklan di berbagai media, termasuk tempat penjualan. Dorongan ini dilakukan dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak.
PP 109/2012 padahal sudah mengatur pembatasan iklan produk rokok pada media televisi dan elektronik, bahkan mengatur detail media luar ruang hingga larangan menjual rokok kepada anak di bawah umur sebagai bentuk pengendalian produk rokok dan pembatasan komunikasi produsen dengan konsumen.
Namun, hingga saat ini tidak ada gebrakan dari Kemenkes untuk melakukan edukasi masyarakat luas tentang bahaya rokok sekaligus mencegah akses penjualan bagi anak-anak secara proaktif dengan bermitra dengan pihak pabrikan atau pun pemangku kepentingan IHT, padahal pihak-pihak tersebut yang menjalankan berbagai bentuk pengendalian.
Terlebih, isu perokok pemula merupakan persoalan pelik yang membutuhkan sinergi kebijakan dan kontribusi seluruh pihak dan pemangku kepentingan, bukan hanya pengendalian di sisi hilir. Ditambah lagi, wacana perluasan gambar peringatan kesehatan tersebut berpotensi meningkatkan rokok ilegal yang beredar di pasaran. Hal tersebut tentunya malah akan merugikan negara.
Di kesempatan yang sama, Analis Kebijakan Madya Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai (Kementerian Keuangan) Hary Kustowo menjelaskan bahwa meskipun Indonesia tidak ratifikasi FCTC, ketentuan PP 109 beberapa bahkan lebih ketat. Hary mengatakan aspek pengendalian selalu jadi pertimbangan dalam kebijakan cukai tembakau. Setelah selesai pengumuman cukai tahun lalu, pembahasan PP 109 dilanjutkan.
"Itu tetap dibahas. Tapi, kami keberatan peringatan kesehatan jadi 90%. Kami butuh media untuk pengawasan. Bayangkan kalau nanti semua rokok gambarnya sama itu bagaimana membedakan yang legal dan ilegal di lapangan," ungkapnya.
Menurut Budidoyo, IHT merupakan satu kesatuan dan apabila ada kebijakan di hulu, maka akan memberikan dampak di hilir dan sebaliknya. "Kami berharap ada penyederhanaan di mana-mana, terutama regulasi," ujarnya.
Budidoyo menganggap selama ini seolah-olah IHT terus dimintai kontribusinya, tapi juga ditekan. Sudah memberikan kontribusi besar, namun tidak pernah mendapat apa pun dari pemerintah.
"Kami tidak antiperaturan, tapi diharapkan formulasi kebijakan yang komprehensif, berpihak pada kepentingan nasional, dan dipatuhi bersama. Indonesia negara berdaulat, kita bisa tentukan kebijakan terbaik bagi negara sendiri," tegas Budidoyo.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: