Berdasarkan pertimbangan yang disampaikan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera F-PKS menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).
Anggota Baleg DPR-RI Fraksi PKS mengatakan, F-PKS menolak RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada pengambilan keputusan tingkat I atas hasil Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Baca Juga: PKS Dukung KPK Amankan Aset Negara Rp571,5 Triliun, Ini Alasannya
"Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang," ujar Ledia Hanifa Amaliah dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Menurut dia, FPKS menyadari substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.
Oleh karena itu, dia menilai diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama.
Ledia menjelaskan ada beberapa catatan FPKS DPR RI terkait RUU Ciptaker, pertama FPKS memandang pembahasan RUU itu pada masa pandemi COVID-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.
"Kedua, banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini," ujarnya.
Ketiga, menurut Ledia, FPKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun "resep" meskipun yang sering disebut adalah soal investasi.
Dia menilai pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukan masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi misalnya ketidaktepatan itu adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif.
"Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: