Setidaknya ada dua masalah utama untuk mewujudkan kebun sawit yang berkelanjutan (sustainable agriculture) di Indonesia, yaitu rendahnya penerapan Good Agricultural Practices (GAP) yang mudah dikenali dari defisiensi hara pada tanaman dan tingginya pemakaian benih palsu dan ilegitim.
Hal ini disampaikan Muhammad Arief Budiman, PhD, ilmuwan senior di Orion Genomics, perusahaan bioteknologi di St. Louis, Missouri, USA dalam Webinar "Bio-Tech For Sustainable Agribusiness: Case of Palm Oil" yang belum lama ini digelar oleh Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), IPB University.
Baca Juga: Batik dan Cangkang Sawit, Apa Hubungannya?
Arif menyampaikan bahwa berdasarkan jenis ketebalan cangkang buahnya, ada tiga tipe kelapa sawit. Ketiga tipe itu adalah dura, pisifera, dan tenera dengan kandungan minyak yang berbeda, tergantung pada ada atau tidak adanya gen penyandi ketebalan cangkang (Shell gene, Sh).
"Tipe kelapa sawit dura memiliki cangkang tebal dan memiliki kandungan crude palm oil (CPO) 70 persen. Tipe pisifera, tidak memiliki cangkang, biasanya memiliki bunga betina steril dan tandannya cepat membusuk sebelum memproduksi minyak dengan kandungan CPO nol persen," jelas Arif dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/10/2020).
Sementara itu, lanjut Arif, persilangan antara tipe dura dan pisifera menghasilkan kelapa sawit tipe tenera yang merupakan turunan hibrida dengan cangkang berukuran tipis dengan kandungan CPO mencapai 100 persen. Dijelaskan olehnya, penggunaan tipe sawit dura mendominasi perkebunan sawit rakyat di Riau dengan jumlah 231 petani dan luas perkebunan lebih dari 50 persen.
Langkah identifikasi tipe kelapa sawit yang biasa dilakukan adalah dengan cara konvensional yaitu membelah buah kelapa sawit secara melintang. Namun, pengujian ini baru dapat dilakukan setelah tanaman mulai berproduksi dan menghasilkan tandan buah (3-4 tahun). Identifikasi dengan cara konvensional ini tentu tidak dapat dilakukan pada Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) baik TBM 1 ataupun TBM 2, apalagi tanaman yang masih pada fase pembibitan. Padahal, kepastian jenis bahan tanam (dura, pisifera, atau tenara) yang ditanam petani pekebun sangat menentukan produktivitas kelapa sawit di perkebunan.
Di sisi pembiayaan yang dikeluarkan, biaya benih menjadi komponen biaya terkecil dari jumlah total kebutuhan yaitu 0.2-1.3 persen (Rp7.500). Sementara, biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya pemupukan sebesar 44 persen, pemanenan 27 persen, dan perawatan 18 persen. "Komponen benih menjadi perlu diperhatikan dengan memastikan kualitas di awal sebelum menghabiskan biaya 99.8 persen berikutnya," tambah Arif.
Genomik merupakan bidang yang jauh lebih baru daripada genetika. Genomik berkembang cepat dalam tiga dekade terakhir karena kemajuan teknis dalam men-sekuens DNA, biologi molekuler, dan biologi komputasi. Genomik itu dapat membantu proses persilangan benih dan menemukan gen dari benih unggul dengan lebih cepat dan mudah.
"Teknologi genomik dapat membantu menemukan gen shell yang memiliki peranan mengatur ketebalan tempurung buah sawit yang berhubungan dengan ukuran buah dan produksi minyak yang dihasilkan. Dengan memanfaatkan gen shell ini, produsen bisa memakai penanda (marker) genetikĀ untuk mana bibit yang akan berbuah dura, pisifera, dan tenera sehingga dura atau pisifera dapat diidentifikasi dalam waktu yang relatif singkat dan biaya terjangkau," papar Arif.
Pemanfaatan teknologi ini dapat digunakan untuk sertifikasi kecambah guna mengukur kemurnian biji sawit tenera. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia (SNI), kemurnian benih dari produsen benih harus mencapai 98 persen atau kontaminasi dura tidak boleh lebih dari 2 persen. Selain itu, teknologi ini dapat digunakan pada pengawasan bibit di fase bibit (nursery) sehingga petani mendapatkan bibit siap tanam yang berkualitas dari penangkar.
Selain itu, teknologi ini bermanfaat untuk mengoptimalkan lahan yang ada dengan benih yang berkualitas. Apabila terjadi kontaminasi bibit nontenera, nilai ekonomi yang dihasilkan oleh CPO akan mengalami kehilangan yang cukup besar.
"Jika menggunakan asumsi kontaminasi nontenera dari negara Malaysia untuk bibit sawit mereka yaitu sebesar 11 persen di mana kontaminasi dura 8.1 persen dan pisifera 2.9 persen, kerugian per tahun dapat mencapai Rp9.38 triliun. Sementara, jika kontaminasi nontenera mencapai 50 persen yaitu kontaminasi dura 50 persen, kerugian yang dihasilkan mencapai Rp 26.9 triliun," jelasnya.
Secara umum, teknologi uji DNA ini dapat membantu petani mendapatkan bibit sawit yang baik dan benar dengan biaya yang terjangkau. Selain itu, teknologi tersebut juga mendukung program Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan membangun agribisnis yang berkelanjutan.
"Benih bukanlah segalanya, tetapi semuanya berawal dari benih," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: