Aktivis hak asasi manusia Haris Azhar mempertanyakan perlakuan negara atas implementasi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menggunakan standar ganda. Haris menyebut sikap tak adil itu makin bermunculan sejak dua tahun terakhir.
"Dalam konteks digital kita melihat ada sekelompok orang atau akun atau tagar campaign yang digunakan, justru menyerang masyarakat yang mengkritisi negara. Ada kerumunan di dunia maya yang kerjanya menyerang suara kritis masyarakat," kata Haris dalam diskusi forum Indonesia Lawyers Club di tvOne, Selasa, 3 November 2020.
Menurutnya, ketika ada suara kritis masyarakat terhadap pemerintah, justru tidak ada tindakan tegas yang dilakukan sejalan dengan peraturan yang berlaku dalam UU ITE. Namun, sebaliknya, jika ada kritik, maka sekelompok akun buzzer akan 'mengganggu' akun pengkritik pemerintah.
"Jadi ada double standard perlakuan negara terhadap dua kontradiktif di dunia digital yang ada kaitan dengan massa yang nondigital. Ini yang menurut saya terjadi banyak terutama dalam dua tahun terakhir," ungkapnya.
Haris menyebut masyarakat seharusnya tidak perlu takut jika harus dipenjara karena dianggap melakukan tindak pidana ITE. Menurutnya, implementasi UU ITE justru bisa diperdebatkan dan ditafsirkan dalam pemberlakuannya.
"Jadi harus berani juga. Tapi pemenjaraan itu dalam rangka mencari penafsiran. Kalau takut, kita bisa melihat ITE ini sebagai hantu. Tapi kalau kita berani, saya pikir ITE ini jadi zona yang bisa kita perdebatkan dan masuk ke penafsiran dalam pemberlakuannya," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat