Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Solusi Jitu Keluarkan Indonesia dari Jerat Resesi

Solusi Jitu Keluarkan Indonesia dari Jerat Resesi Petugas bank melayani penarikan uang nasabah di bank BNI Syariah Lhokseumawe, Aceh, Jumat (13/3/2020). Gubernur Bank Indonesia menyebutkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat kembali melemah di Rp14.640 per dolar AS atau sebesar 0,81 persen pada perdagangan pasar spot, Jumat (13/3) pagi, dampak sentimen kekhawatiran pelaku pasar keuangan terhadap virus Corona (COVID-19). | Kredit Foto: Antara/Rahmad
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan, pemerintah perlu memperkuat sinergi antara upaya peningkatan konsumsi dan penanganan kasus Covid-19 untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi di 2021.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi bahwa Indonesia memasuki resesi. Pada Q3-2020, perekonomian mengalami kontraksi sebesar -3,49% (yoy) setelah pada Q2 mengalami kontraksi hingga level -5,32% (yoy), sedangkan Q1 berada pada level 2,97% (yoy).

Pingkan menyatakan konsumsi perlu terus digerakkan setidaknya untuk meminimalisir dampak dari peluang resesi yang ada. Salah satu stimulusnya adalah dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada kelompok masyarakat yang tergolong rentan.

Baca Juga: Resesi Bikin Jumlah Pengangguran Melonjak Drastis, Terbanyak Kaum Adam

Jika melihat data jumlah penduduk miskin secara bulanan, angkanya naik dari 25,1 juta menjadi 26,4 juta pada Maret 2020 yang lalu. "Selain itu, upaya untuk terus menahan laju pertambahan pasien positif Covid-19 juga perlu terus dilakukan," kata dia di Jakarta, Kamis (5/11/2020).

Pingkan menegaskan pandemi Covid-19 menjadi faktor utama yang mengakibatkan resesi terjadi. Sejak diumumkannya kasus positif pertama di Indonesia pada Maret 2020, pemerintah memberlakukan serangkaian kebijakan yang membatasi mobilitas dan aktivitas masyarakat.

"Pemberlakuan kebijakan pembatasan ini secara langsung dan tidak langsung mengakibatkan kegiatan ekonomi dari hulu hingga ke hilir mengalami tekanan yang mengharuskan dilakukannya penyesuaian. Dari segi permintaan, masyarakat juga mengalami penurunan daya beli akibat berkurangnya lapangan kerja dan meningkatnya angka pengangguran," terangnya.

Walaupun demikian, Pingkan juga menyoroti beberapa poin positif yang menunjukkan adanya upaya perbaikan pada perekonomian. Ia menambahkan, jika dilihat dari kuartal sebelumnya (qtq) terjadi pertumbuhan sebesar 5,05%.

Hal menarik lainnya dari kondisi saat ini ialah pergeseran tren pertumbuhan ekonomi terhadap PDB (qtq) jika dilihat dari sudut pandang sektor usaha. Kondisi ini digambarkan dari sisi produksi dengan pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor usaha transportasi dan pergudangan di level 24,28% dari yang semula berada pada level -29,18% di Q2 dan kontraksi tertinggi justru terjadi pada sektor pertanian dari yang semula berada di level 16,24% pada Q2 menjadi 1,01% di Q3 tahun ini.

Baca Juga: Borong Sarang Burung Walet Indonesia, Tiongkok Habiskan Dana Rp2,2 Triliun

Sedangkan, untuk sektor-sektor lainnya seperti industri, perdagangan, konstruksi, jasa pendidikan, akomodasi makan dan minum, pengadaan listrik dan gas, jasa kesehatan, jasa perusahaan dan jasa lainnya mengalami peningkatan dari Q2 yang signifikan.

"Hal ini sangat mungkin terjadi akibat dari pelonggaran kebijakan pembatasan sosial berskala besar di beberapa daerah yang memungkinkan adanya kegiatan ekonomi yang bergerak lebih leluasa dan mendorong aktivitas di pasar baik dari segi konsumsi maupun produksi. Sedangkan untuk pengeluaran, porsi tertinggi masih dipimpin oleh Komponen pengeluaran konsumsi pemerintah dengan level 16,93%," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: