Kredit Foto: Humas MPR
"Negara besar seperti China, India, dan Rusia, maupun negara seperti Singapura saja memiliki haluan negara. China, misalnya, dalam salah satu haluan negaranya menyatakan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi pertama dunia di 2030. Keberadaan PPHN di Indonesia juga tak jauh beda seperti di berbagai negara lainnya. Di dalamnya memuat tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia dalam beberapa tahun ke depan."
"Sebagai gambaran awal, PPHN bisa menggambarkan apa yang ingin dicapai Indonesia pada usia kemerdekaannya yang ke-100 di tahun 2045. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, atau pun lainnya. Bagaimana cara mewujudkannya, diserahkan kepada presiden-wakil presiden terpilih," jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, dengan demikian PPHN akan menjadi landasan visi-misi bagi kandidat presiden-wakil presiden yang maju dalam Pilpres. Dengan demikian, arah pembangunan bangsa lebih terencana. Setiap presiden-wakil presiden akan bekerja sesuai haluan negara. Bukan bekerja sekehendak hatinya, apalagi sesuai pesanan konsultan politik semata.
Baca Juga: Bamsoet Dorong Pemerintah Perkuat Kerja Sama Pariwisata Indonesia-Turki
"Pentingnya kehadiran haluan negara dapat dianalogikan sebagai berikut. Jika diibaratkan Indonesia sebuah bahtera besar yang sedang berlayar mengarungi samudera luas, apakah memerlukan haluan ke mana kapal ini akan menuju? Atau percayakan saja kepada nakhoda ke mana bahtera ini akan diarahkan. Ke kanan boleh, ke kiri boleh, zig zag boleh, atau mau putar haluan pun juga boleh? Jawabannya tentu saja tidak. Indonesia memerlukan haluan untuk menuju tujuan yang dicita-citakan bersama," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia ini menambahkan, dalam FGD tersebut, Prof Ravik Karsidi dari Forum Rektor Indonesia memaparkan tiga skenario mengembalikan kembali keberadaan haluan negara dalam sistem ketatanegaraan berbangsa dan bernegara. Alternatif pertama, melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk membuat dan menetapkan PPHN.
"Alternatif kedua, merevisi UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU 17/2014 tentang MD3, serta UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Alternatif ketiga melalui konvensi ketatanegaraan. Pilihan paling rasional dan paling banyak disuarakan adalah alternatif pertama, yakni melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945," pungkas Bamsoet.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: