Perundingan Damai Afghanistan Berjalan, Eskalasi Kekerasan Timur Tengah Justru Naik
Sejak belum lama ini, Shahzia Ahmadi tidak lagi mengirimkan puteranya keluar berbelanja. Guru berusia 32 tahun takut jika dia diculik, dan dimintai uang tebusan yang bisa mencapai USD 50 ribu atau setara dengan Rp 700 juta.
Hal serupa dialami Ahmad Zia, seorang pedagang toko di Kabul. Dia kini menutup tokonya jauh lebih dini, dan tidak lagi berkeliaran di luar selepas pukul delapan malam. "Saya belum pernah sekalipun mengalami hari yang damai seumur hidup saya,” kata dia.
Baca Juga: Jurnalis Afghanistan Tewas Didor, ISIS Klaim Tanggung Jawab
"Saya tidak benar-benar tahu masa depan seperti apa yang menanti negeri ini, tapi saya sangat kecewa,” imbuhnya.
Pemerintah dan Taliban adalah "dua minoritas yang bermusuhan,” dengan masyarakat terjebak di tengahnya, kata Torek Farhadi, bekas penasehat pemerintah kepada Associated Press.
Peluang damai di tengah eskalasi kekerasan
Harapan menyusut seiring berlangsungnya perundingan damai di Taliban. Lonjakan angka kriminalitas berpadu dengan jumlah serangan teror yang terjadi hampir setiap hari. Jurnalis, pengacara, hakim dan pegiat HAM menjadi target pembunuhan. Beberapa dikabarkan sudah tewas.
AS menuduh Taliban bertanggungjawab atas gelombang asasinasi di Afghanistan. Namun hal ini ditepis oleh kelompok Islam garis keras tersebut. Mereka sebaliknya menuduh AS menyerang salah satu fasilitas militernya.
Ketegangan itu melatari pertemuan di ibu kota Qatar, Doha. Di sana, kedua pihak membawa daftar agenda versinya masing-masing, dan diharapkan bisa menyepakati satu daftar bersama untuk dibahas pada putaran selanjutnya.
"Kesempatan pertama adalah bahwa beberapa butir usulan ternyata sama, dan ini akan mempermudah kelangsungan pembicaraan,” kata Nader Nadery, anggota delegasi pemerintah Afghanistan kepada AP.
Namun dia mewanti-wanti, gelombang kekerasan teranyar dan tekanan publik bisa menghambat jalannya perundingan.
Ancaman terhadap kegagalan perundingan membuat pemerintah di Kabul giat menggalang dukungan internasional di luar poros AS-Eropa. Indonesia yang tahun lalu menggelar Konferensi Ulama Sedunia misalnya diminta melobi perwakilan Taliban untuk menyepakati damai, lapor Antara.
Pentingnya gencatan senjata juga diulangi Presiden Ashraf Ghani saat membahas kerjasama ekonomi dengan Presiden Joko Widodo lewat sambungan jarak jauh, unggah kantor Kepresidenan via Twitter, Selasa (5/1/2021).
Agenda sensitif jelang perundingan
Salah satu agenda pembahasan yang paling sensitif menyangkut skema pembagian kekuasaan. Kedua pihak antara lain harus merembukkan susunan kabinet transisi dan sistem pemerintahan baru untuk Afghanistan.
Namun ketika pemerintah mendesak gencatan senjata sebagai prioritas utama pembahasan, Taliban menyaratkan komitmen pembagian kekuasaan oleh Kabul. Juru bicara Taliban, Mohammed Naeem, mengakui gencatan senjata termasuk ke dalam agenda pembahasan, tapi menolak merinci syarat yang diajukan.
Batu sandungan lain adalah perlucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi mantan jihadis ke dalam masyarakat. Sejauh ini tuntutan itu belum dikabulkan Taliban.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: