CENTRIS Ingatkan Afghanistan Waspada dengan Tawaran Kerjasama China
Jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban yang saat ini memiliki kedekatan khusus dengan China, secara otomatis mengalihkan penguasaan atas kekayaan mineral tambang, salah satunya lithium di negara itu.
Di atas kertas, melalui Perisahaan Gocin yang berbasis di Tiongkok, Beijing telah menjalin kontrak dengan Taliban sebesar 10 miliar dollar Amerika Serikat (AS)untuk mengelola litium Afghanistan.
Investasi China di Afganistan yang bernilai lebih dari 1 triliun dolar AS, adalah merupakan bagian dari proyek yang lebih besar Tiongkok pada negara-negara “mitranya”.
China menjanjikan kerjasama ini akan menciptakan 120.000 pekerjaan langsung, ditambah beberapa pembangunan infrastruktur dan perbaikan sarana-prasarana bagi bangsa dan negara Afghanistan.
Upaya China untuk mengontrol sumber daya mineral Afghanistan, terutama cadangan litiumnya, menjadi bagian terpenting dari strategi Beijing sebagai rantai pasokan mineral global.
Melihat hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan Afganistan agar waspada dengan segala bentuk kerjasama eksploitasi sumber daya mineral dengan China, agar tidak senasib seperti negara-negara yang kini terpuruk usai bermitra dengan Beijing.
Peneliti CENTRIS, AB Solissa membeberkan sejumlah fakta dan bukti negara-negara ‘terjajah’ China, karena jebakan hutang yang dibalut Beijing melalui sistem kerjasama.
“Hati-hati (Afghanistan) dengan China. Lihat saja Srilanka atau negara-negara di Afrika yang tanah airnya terjajah Beijing gegara termakan janji manis negeri tirai bambi ,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jum’at, (19/5/2023).
Jika diberikan kontrak penambangan lithium, perusahaan China juga telah berjanji untuk terlibat dalam sejumlah proyek infrastruktur Afghanistan lainnya, termasuk terowongan, bendungan pembangkit listrik tenaga air, dan jalan raya, menurut Kementerian Pertambangan dan Perminyakan Afghanistan.
CENTRIS menilai Beijing saat ini tengah berusaha memperluas kehadiran ekonominya di Afghanistan, dan menguasai sumber daya alamnya sejak Taliban mengambil alih Afghanistan.
Untuk menegosiasikan ulang dan memulai kembali kontrak pertambangan dan minyak sebelumnya, bisnis dan otoritas China telah melakukan kontak dengan para pemimpin Taliban.
Taliban telah menandatangani kontrak untuk mengumpulkan minyak dari cekungan Amu Darya dengan Perusahaan Minyak dan Gas Asia Tengah Xinjiang (CAPEIC) pada 6 Januari.
Sebanyak 150 juta dolar akan diinvestasikan dalam perjanjian pada tahun pertama, dan 540 juta dolar akan diinvestasikan selama tiga tahun ke depan.
Atas jasanya tersebut, China memiliki peluang untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh regionalnya dengan memperluas kehadirannya di Afghanistan.
Akan tetapi, beberapa kejadian pencurian seperti yang diungkap oleh otoritas Taliban dimana lima orang, termasuk dua warga negara China ditangkap karena berusaha menyelundupkan sekitar 1.000 ton batu yang mengandung lithium ke luar negeri melalui Pakistan, memperlihatkan cara lain China dalam mengelsploitasi ilegal mineral Afghanistan.
“Kami sependapat dengan mantan diplomat Afganistan di Beijing, Sayed Mehdi Munadi, perihal dugaan China secara ilegal mengeksploitasi kekayaan alam Afghanistan melalui penyuapan, penyelundupan, dan cara lainnya, karena tidak sedikit bukti yang terdokumentasi di media,” ucap AB Solissa.
Apalagi, pejabat senior Kementerian Pertambangan dan Perminyakan Afghanistan Mohammad Rasool Aqab mengklaim bahwa batu-batu itu, yang mengandung hingga 30 persen litium, secara diam-diam dipindahkan dari Nuristan dan Kunar, dua dari banyak wilayah Afghanistan yang berbatasan dengan Pakistan.
“Banyak yang menduga hal ini dilakukan China dengan cepat untuk merespon meningkatnya permintaannya litium dan kobalt sebagai salah satu bahan baku industrian, salah sarunya mobil listrik,” jelas AB Solissa.
Hampir dua pertiga lithium dunia diproses dan disempurnakan oleh perusahaan China, yang dapat menimbulkan bahaya rantai pasokan bagi negara lain.
Selain Afganistan, China telah melakukan investasi besar dalam penambangan litium di Amerika Latin selama lima tahun terakhir, termasuk Argentina, Bolivia, Meksiko, dan Chili, menurut laporan Khaama Press.
Bukan hanya itu, bisnis Cina mencari ke Afrika, termasuk Zimbabwe, Namibia, dan Kongo, untuk aset mineral.
Sekitar dua pertiga kobalt dunia dan 10 persen tembaga diproduksi di Afrika, dan penemuan sumber daya litium masih dalam tahap awal.
Investor China sangat ingin berinvestasi dalam kekayaan mineral benua meskipun ada risiko seperti ketidakstabilan politik, peraturan dan regulasi yang lemah, korupsi, infrastruktur yang buruk, dan masalah yang terkait dengan eksplorasi tahap awal.
“Beberapa analis mencatat bahwa perusahaan China berinvestasi dalam pasokan litium di Amerika Latin dan Afrika bahkan ketika harga litium rendah sebagai bagian dari rencana jangka panjang mereka untuk memastikan pasokan unsur tanah jarang,” ujar AB Solissa.
David Deckelbaum, MD untuk Keberlanjutan dan Transisi Energi di Cowen Inc. yang berbasis di New York, memperkirakan bahwa China telah menginvestasikan antara USD 60 dan USD 100 miliar dalam membangun industri litiumnya selama sepuluh tahun terakhir dengan mensubsidi produksi kendaraan listrik murah dan mendorong bisnis untuk berinvestasi dalam infrastruktur untuk penambangan dan pemurnian logam.
Bagi negara-negara lain yang ingin beralih ke energi hijau, pendekatan China, bagian dari strategi jangka panjang untuk memperluas kepentingan geoekonominya dan merebut supremasi pasar, menghadirkan masalah geopolitik dan keamanan.
“Misalnya, pada tahun 2019, China mengancam akan berhenti memasok tanah jarang ke AS sebagai bagian dari sengketa perdagangannya dengan AS,” kata AB Solissa.
“Kemungkinan China mengendalikan pasar litium, seperti yang dilakukan OPEC dengan minyak bumi, cukup serius,” pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement