Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pilpres 2024, Pakar Sarankan Tokoh Mulai Dekati Partai Politik

Pilpres 2024, Pakar Sarankan Tokoh Mulai Dekati Partai Politik Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perdebatan tentang pemilu nasional yang ideal terus menjadi diskursus di kalangan peneliti, akademisi, dan elite partai politik (parpol) sampai hari ini. Termasuk soal perdebatan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 mendatang yang masih dibatasi oleh ambang batas persyaratan parpol atau gabungan parpol dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Merujuk pada ketentuan yang ada, pengusungan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) masih mengharuskan ketentuan 20% kursi di DPR atau 25% gabungan suara parpol.

Baca Juga: Melihat Peluang Ridwan Kamil dan Nurdin Abdullah di Pilpres 2024 Mendatang

Di sisi lain, ada sejumlah pihak yang terus "menggugat" agar ambang batas presiden (presidential threshold) dinihilkan alias menjadi 0%.

Menanggapi dinamika politik yang berkembang, Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra) Fadhli Harahab memandang Pilpres 2024 idealnya menjadi momentum politik nasional untuk menghadirkan banyak sosok yang diusung menjadi capres dan cawapres.

"Tapi debat ideal dan enggak ideal itu relatif, karena masing-masing elite partai dan mungkin tokoh nasional pasti punya persepsi berbeda-beda. Di situlah muncul ketentuan ambang batas untuk membatasi. Kita gak bisa menafikan kalo ambang batas dinolkan, maka tokoh masyarakat dari lurah sampai sopir ojol juga bisa mencalonkan. Masak kita mau larang, kan enggak bisa. Wong itu bicara hak politik warga negara," dikutip dari SINDOnews, Jumat (15/1/2021).

Menurut dia, dengan kondisi demikian yang perlu menjadi perhatian bersama yakni bagaimana masing-masing pihak yang berkepentingan di 2024 bisa duduk bersama dan mencari solusi bersama.

Dia menilai sangat naif jika harus diubah menjadi 0% lantaran hal ini akan menimbulkan perdebatan panjang. "Kita ketahui bersama, soal batasan tersebut sudah berulang kali dibawa ke MK (Mahkamah Kontitusi) tapi selalu kandas. Butuh waktu panjang nantinya untuk berdebat lagi. Sementara 2021 ini sudah masuk tahun politik, UU Pemilu juga mulai diprioritaskan di Baleg DPR," tandasnya.

Oleh karena itu, analis politik UIN Jakarta ini menyarankan para tokoh, utamanya yang saat ini tak memiliki dukungan parpol untuk segera bergabung ke parpol atau setidaknya secara intens melakukan pendekatan kepada petinggi-petinggi parpol.

"Itu jalan satu-satunya. Sisi komprominya di situ. Jadi tokoh yang mohon maaf saat ini masih 'tercecer' segera bergabung ke parpol. Apa pun parpolnya, baik pemilik kursi di parlemen atau (nonparlemen. Ini jauh lebih realistis kalau kita menginginkan masyarakat tak terpecah dalam 'dua perahu besar' seperti 2014 dan 2019 kemarin," tuturnya.

Direktur Riset dan Program Sudra, Surya Vandiantara menilai hal yang sama tentang gejala dan kecenderungan politik hari ini.

Dia melihat momentum Pilpres 2024 melahirkan banyak calon cukup terbuka lebar. Oleh karena itu harus segera terkonsolidasi secara massif oleh para tokoh dan elite politik nasional.

Surya menilai lahirnya banyak tokoh nasional yang terjaring lembaga survei bisa menjadi pertimbangan. Hal ini harus segera dilakukan. Pasalnya dalam kajian lembaganya telah lahir banyak tokoh nasional, baik kader partai, tokoh oposisi nasional hingga para kepala daerah yang sedang naik daun.

"Harus diakui, Pilpres 2019 lalu lawan yang sepadan buat Pak Jokowi ya Pak Prabowo. Walaupun pada akhirnya, Pak Prabowo secara rekonsiliatif mau menerima pinangan Pak Jokowi bergabung ke pemerintah. Nah, saya melihat kecenderungan ini akan berubah pada 2024, karena banyak figur potensial yang lahir," tutur Surya menegaskan.

Surya menganggap momentum ini akan terjadi di 2024 mendatang. Untuk itu, ia menyarankan agar para tokoh nasional yang dianggap masih "tercecer" harus segera menentukan arah politiknya.

Dia khawatir dengan waktu yang sempit ini, momentum banyak tokoh yang lahir sebagai calon pemimpin nasional justru tampak hilang tak berbekas.

"Pada akhirnya negara yang dirugikan karena tercecernya kader-kader rakyat yang absen di pentas nasional. Padahal legacy yang akan ditinggalkan Pak Jokowi cukup berat. Alih-alih ekonomi bangkit, tapi bangsa Indonesia hampir dua tahun dilanda pandemi Corona. Jadi tugas pemimpin berikutnya masih fokus pemulihan ekonomi," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: