Selalu Berbeda Pandangan, Kudeta Bikin Etnis Di Myanmar Bersatu Lawan Junta Militer
Kelompok etnis di Myanmar yang selama ini berbeda pandangan bersatu melawan kudeta militer di Myanmar.
Saw Mutu Saypho, pemimpin dari kelompok etnis bersenjata, Persatuan Karen Nasional (KNU) meminta, kelompok lainnya menyingkirkan perbedaan dan menjadikan junta militer musuh bersama.
Baca Juga: Junta Myanmar Bisa Dapat Mimpi Buruk, Ancaman Biden: Kami Bisa Blokir Sang Jenderal...
“Kita harus bekerja sama untuk bisa mengakhiri kediktatoran ini,” ujar Saypho, dikutip dari Channel News Asia, kemarin.
Kepada internal kelompoknya sendiri, Saypho mengimbau, untuk tidak menerima tawaran apapun dari junta militer. Hal itu menyikapi kabar pemimpin militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, membagi-bagikan posisi di pemerintahan kepada pimpinan-pimpinan kelompok etnis demi mengamankan pengaruhnya.
Selain KNU, kelompok etnis yang juga menentang kudeta Myanmar adalah Pasukan Budha Karen Demokratik (DKBA). Pecahan dari KNU itu turut serta dalam unjuk rasa di Myanmar beberapa hari terakhir. Sambil membawa senapan, mereka ikut berhadapan dengan aparat yang mencoba memukul mundur pendemo.
Kelompok etnis yang bergabung melawan Junta Militer antara lain Pasukan Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA), Dewan Restorasi Shan (RCSS), Tentara Arakan (AA), dan Pasukan Kemerdekaan Kachin (KIA).
“Semoga kediktatoran militer di Myanmar jatuh,” ujar pemimpin TNLA di laman Facebook-nya, sambil memberikan salam tiga jari, salam dari film Hunger Games yang menjadi simbol pemberontakan terhadap junta militer.
Selama ini, kelompok-kelompok etnis di Myanmar terpecah. Ada yang di utara, selatan, maupun wilayah lainnya tersingkirkan oleh dominasi Buddhis Bamar yang menjadi mayoritas di Myanmar. Sebagai minoritas, kelompok-kelompok etnis merasa termarjinalkan dan ditekan.
Meski banyak dari mereka menganggap kepemimpinan Aung San Suu Kyi, sebelum dikudeta, gagal. Beberapa kelompok etnis juga ragu merapat ke kubu Min Aung Hlaing. Hal itu berkaitan dengan pembantaian kelompok minoritas Rohingya di Rakhine pada 2017. Hal itu dianggap menjadi preseden buruk soal kepemimpinan militer. [DAY]
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq