Rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Ekonomi (UU ITE) direspons positif.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari mengaku setuju dengan sikap Presiden Jokowi itu. Penerapan UU ITE selama ini dinilainya banyak bermasalah sehingga menimbulkan banyak korban. "Dalam penerapannya cenderung multitafsir. Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE misalnya, pasal ini menjadi pasal yang bisa multitafsir. Siapa saja bisa dikriminalisasi, bisa saling lapor. Masyarakat biasa, tokoh hingga jurnalis juga ikut terjerat," kata Taufik saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Dia menilai, pendangan Presiden untuk membuka peluang merevisi UU ITE sudah didasarkan pada fakta di lapangan.
Baca Juga: Demokrat Terheran-heran Jokowi Konsen Revisi UU ITE daripada UU Pemilu
Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sejak 2016 sampai dengan Februari 2020 untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara).
Politikus Partai Nasdem ini juga mengungkapkan laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.
Sektor perlindungan konsumen, antikorupsi, pro demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.
Tak hanya itu, Taufik menyebutkan, data terbaru dari LBH Pers menunjukkan terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis sepanjang 2020. Dari 10 kasus kriminalisasi tersebut masyoritas menggunakan pasal karet UU ITE, delapan jurnalis dikriminalisasi dengan ketentuan UU ITE, lima kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan 3 kasus lainnya menggunakan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian.
Selain itu, ketentuan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang penghinaan/ pencemaran nama baik secara daring pada implementasinya, penghinaan atau pencemaran nama baik diartikan secara luas, dan tidak merujuk pada batasan dan pengecualian yang diatur dalam Pasal 310-311 KUHP, yaitu hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Konten jurnalistik dipastikan memenuhi aspek kepentingan umum, kata dia, harusnya tidak dapat dijerat dengan pasal ini, namun justru digunakan untuk mengkriminalisasi karya jurnalistik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti