Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Penerawangan Spiritualis Nusantara dari Gunung Lawu

Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Penerawangan Spiritualis Nusantara dari Gunung Lawu Kredit Foto: Sufri Yuliardi

Seorang peneliti Belanda W.F. Stutterheim, seperti dikutip Kejaksaan RI, mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M).

Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

Baca Juga: Ini Penjelasan soal Beredarnya Foto Balita Ikut Ditahan versi Kejaksaan

Peneliti lainnya, H.H. Juynboll, mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa Gajah Mada patih terkenal dari Majapahit adalah seorang adhyaksa.

Catatan Kinerja Jaksa Agung di Era Pandemi

Seperti dilansir resmi oleh Kejaksaan RI, pada tiga hari setelah pelantikan, Jaksa Agung merumuskan dan menerbitkan Tujuh Kebijakan Utama Jaksa Agung bagi seluruh Jaksa di penjuru Indonesia. Langkah ini merupakan upaya tindak lanjut lima arahan prioritas Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan Indonesia Maju.

Kebijakan Jaksa Agung tersebut yaitu:

1. Penegakan hukum tidak lagi menitikberatkan kepada seberapa banyak perkara korupsi yang ditangani, tetapi lebih kepada upaya untuk menjamin suatu wilayah bebas dari korupsi;

2. Penegakan hukum guna mendukung investasi baik di pusat maupun di daerah;

3. Melakukan pendataan dan pengalihan fasilitas umum, fasilitas sosial, maupun aset-aset lainnya milik pemerintah yang terbengkalai, tidak terurus, atau dikuasai oleh pihak lain dengan melibatkan instansi terkait;

4. Pemanfaatan IT untuk mendukung keberhasilan tugas-tugas Kejaksaan;

5. Menciptakan mekanisme pengawasan yang ketat untuk menjaga konsistensi pelaksanaan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM);

6. Sistem complain and handling management yang mampu meningkatkan pelayanan hukum terhadap masyarakat;

7. Inovasi yang telah diterapkan selama ini di satuan kerja dan terbukti dapat mengoptimalkan kinerja secara efektif dan efisien harus dapat diimplementasikan dalam skala nasional.

Kebijakan itu tidak berhenti di atas kertas. Jajaran Kejaksaan mewujudkan kebijakan itu dalam berbagai kebijakan dan capaian dengan pokok-pokok antara lain sebagai berikut:

1. Kebijakan Penanganan Perkara

2. Kebijakan Bidang Pidana Korupsi

3. Inisiasi Pelaksanaan Persidangan dengan sarana Teleconference di masa Pandemi Covid-19. Jaksa Agung mengeluarkan Instruksi Jaksa Agung Nomor 5 Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penanganan Perkara Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Kejaksaan RI dan Surat Jaksa Agung Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 Perihal Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan Ditengah Upaya Mencegah Penyebaran Covid-19.

Dua kebijakan tersebut menyebutkan dan memerintahkan kepada para Jaksa di seluruh Indonesia untuk melakukan sidang melalui teleconference. Tidak hanya persidangan, bahkan guna menunjang kelancaran penanganan perkara, pelaksanaan Penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) dari penyidik juga dilakukan secara online sebanyak 2.758 perkara.

4. Inisiasi Kebijakan Penghentian Penuntutan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Kejaksaan RI saat ini telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebuah upaya menyesuaikan pergeseran paradigma yang berkembang pada masyarakat Indonesia, yang sebelumnya keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif.

Tentunya terdapat syarat dalam pelaksanaan pengaturan ini di antaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan Kejaksaan kiranya dapat menjadi evaluasi dalam penanganan tindak pidana serta dapat menjadi dasar perbaikan hukum acara pidana dalam penyusunan rancangan kitab hukum acara pidana.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: