“Dengan perubahan di atas, maka mustahil akan ada seorang Presiden memegang jabatannya sampai tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 45 tersebut,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan perubahan UU memang bisa terjadi “konvensi ketatanegaraan”.
“Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan kita berubah dalam praktik dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer pada bulan Oktober 1945,” katanya.
“Perubahan itu dilakukan tanpa amandemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima oleh rakyat,” tambahnya.
Namun, katanya, di zaman sekarang tampaknya akan sulit untuk menciptakan konvensi semacam itu, mengingat banyak faktor; trauma langgengnya kekuasaan di tangan 1 orang dan derasnya suara oposisi, baik di dalam badan-badan perwakilan maupun di luarnya.
“Apalagi di zaman kebebasan berekspresi dan kebebasan media sekarang ini, penolakan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode berdasarkan konvensi akan menghadapi tantangan yang cukup berat,” kata Yusril.
Jangan dilupakan juga, sambungnya, saat ini ada Mahkamah Konstitusi yang melalui proses uji materil, bisa menilai apakah tindakan penyelenggara negara konstitusional atau tidak.
“Orang bisa mempersoalkan masa jabatan periode ketiga dengan cara konvensi tersebut di Mahkamah Konstitusi. Lain halnya jika terjadi amandemen oleh MPR atas norma Pasal 7 UUD 45, maka Mahkamah Konstitusi tidak bisa berbuat apa-apa,” tandasnya, seperti dinukil, pojoksatu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil