Menjadi agen perubahan (agent of change) ternyata dapat dimulai dari hal-hal kecil, namun dampaknya dirasakan oleh banyak orang. Hal ini terungkap dalam Sociopreneur Discussion, Kopi Sang Primadona, yang berlangsung di Bogor, Sabtu, 20 Maret 2021.
Menurut Nadia Hasna Humaira dalam diskusi tersebut mengungkapkan bahwa sociopreneur merupakan gerakan wirausaha yang tidak melupakan aspek sosial. “Mereka tidak hanya mengejar laba semata, tapi juga bisa memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya,“ katanya.
Ada yang masih beranggapan bahwa sociopreneur menempatkan masyarakat miskin sebagai objek usaha. Namun, menurut Hempri Suyatna, Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sociopreneur tidak menempatkan mitra binaan sebagai objek, justru menempatkan mereka sebagai rekan kerja. Tidak bisa dimungkiri bahwa peningkatan jumlah sociopreneur akan membuka kesempatan kerja lebih luas sekaligus membangun iklim ketenagakerjaan yang kondusif.
Baca Juga: Srikandi BRI Dukung Kewirausahaan Sosial Ekonomi Berkelanjutan
Itu sebabnya, tak kurang dari mantan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri ikut mendorong generasi muda untuk menjadi sociopreneur, yang tidak cuma mengembangkan bisnis tapi juga peduli dengan aspek sosial.
Tidak bisa dimungkiri bahwa peningkatan jumlah sociopreneur akan membuka kesempatan kerja lebih luas sekaligus membangun iklim ketenagakerjaan yang kondusif.
Itu sebabnya, tak kurang dari mantan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri ikut mendorong generasi muda untuk menjadi sociopreneur, yang tidak cuma mengembangkan bisnis tapi juga peduli dengan aspek sosial.
Nadia Hasna Humaira merupakan generasi muda penggiat sociopreneur, membentuk wadah bagi para pemuda berkumpul, bertukar informasi seputar peluang bisnis terutama yang berorientasi pada sociopreneur.
Nadia memulai ketertarikannya pada sociopreneur dengan hal-hal kecil yang ia lakukan. Ia mencontohkan efektifvitas penggunaan media sosial saat kuliah di Malaysia.
“Saat kuliah di negeri jiran tersebut, saya dan teman-teman kerap mendatangi sejumlah warung makan yang pemiliknya adalah para TKI (tenaga kerja Indonesia) wanita, yang sebenarnya mereka mengalami kesulitan keuangan juga, namun terbentur berbagai alasan, sehingga tidak dapat kembali ke Indonesia.“
“Akhirnya kami membantu mereka dengan mendatangkan para pelajar Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Malaysia, untuk turut meramaikan warung makan tersebut, dan mensosialisasikannya melalui media sosial, Instagram dan Facebook. Alhamdullilah, akhirnya warungnya ramai, berkat bantuan kami, dan juga marketing mouth to mouth (dari mulut ke mulut) ternyata kami pandang efektif. Langkah kecil seperti ini dipandang mampu menjadikan usaha seseorang menjadi lebih dikenal, dan tanpa sadar, kami membantu orang secara tidak langsung,” jelas Nadia yang kini juga aktif dalam Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dalam diskusi tersebut, yang dihadiri oleh sejumlah anggota PPI berbagai angkatan tersebut, Nadia juga membuka peluang berwirausaha, dan menawarkan kepada mereka, untuk membuka usaha gerai kopi rumahan maupun coffee shop sederhana.
Mereka yang berminat juga bisa difasilitasi, untuk menjadi barista di sejumlah kafe di negara Timur Tengah, salah satunya di Arab Saudi. Sebelumnya mereka akan dilatih sekitar satu minggu, sambil dipersiapkan berangkat ke negara tujuan.
Salah seorang panelis, Bayu Hardjodisastro, CFO – Chief Financial Officer Bina Mutu Bangsa – pelatihan dan pendidikan hospitality (keramahtamahan dan pelayanan) dalam kesempatan diskusi mengatakan, ”Marketing yang mengandalkan kekuatan word of mouth itu termasuk salah satu dari strategi marketing 4.0 yang mempadukan antara pemasaran secara online (daring) dan offline (luring) atau tatap muka.“
Baca Juga: Berdayakan Startup, LPDB-KUMKM Gelar Program Inkubator Wirausaha
Dari strategi marketing tersebut maka advocacy termasuk salah satu dari konsep customer path (5A), yakni aware, appeal, ask, act, dan advocacy. Konsep yang diperkenalkan oleh Hermawan Kertajaya ini menyebutkan, setelah konsumen mengenali produknya, kemudian mereka tertarik terhadap produk tersebut, menanyakan detail produknya, sehingga akhirnya mereka membeli, sampai merekomendasikan penggunaan barang atau jasa tersebut kepada teman atau anggota komunitasnya.
Salah seorang panelis, Bayu Hardjodisastro, CFO – Chief Financial Officer Bina Mutu Bangsa – pelatihan dan pendidikan hospitality (keramahtamahan dan pelayanan) dalam kesempatan diskusi mengatakan, ”Marketing yang mengandalkan kekuatan word of mouth itu termasuk salah satu dari strategi marketing 4.0 yang mempadukan antara pemasaran secara online (daring) dan offline (luring) atau tatap muka.“
Dari strategi marketing tersebut maka advocacy termasuk salah satu dari konsep customer path (5A), yakni aware, appeal, ask, act, dan advocacy. Konsep yang diperkenalkan oleh Hermawan Kertajaya ini menyebutkan, setelah konsumen mengenali produknya, kemudian mereka tertarik terhadap produk tersebut, menanyakan detail produknya, sehingga akhirnya mereka membeli, sampai merekomendasikan penggunaan barang atau jasa tersebut kepada teman atau anggota komunitasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: