Tutur Darto, sebenarnya etani masih banyak yang belum memahami program PSR. Dampaknya, mereka melakukan peremajaan secara mandiri tanpa melalui program. Saat ini bahkan petani sawit swadaya masih berpencar-pencar dan tidak adanya kelembagaan tani.
“Pendampingan kurang memadai karena SDM dan pendanaan yang minim di tingkat kabupaten/ dinas. Belum ada real data misalnya siapa, dimana, jenis lahan, dan tahun tanam berapa, di level pemerintah. Lantas, beberapa pendamping desa untuk PSR; tidak dibayar, termasuk luas lahan hanya skala kecil sekitar 2 ha, jika di remajakan-akan hilang pendapatan petani,” katanya.
Sebab itu kedepan untuk Program PSR, Darto mengusulkan, adanya penambahan dana PSR dari 30 juta per hektare menjadi 50 juta per hectare untuk menghindari piutang ke bank, kemudian pengadaan dana pra-kondisi PSR untuk petani swadaya murni.
Sejatinya, kelembagaan tani sebagai point penting untuk pelaksanaan PSR, tapi dana BPDP-KS tidak mendukung pembentukan kelembagaan tani. Kata Darto, apakah dimungkinkan dana BPDP-KS menjadi dana desentralisasi, sehingga pengelolaan dana ke Kabupaten atau provinsi bukan di Jakarta.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: