Perusahaan Seluler di Myanmar Galau, Sudah Merugi Miliaran Dolar Juga Terancam Tangan Besi
Telenor beroperasi di bawah kekuasaan militer di Pakistan dan Thailand, di mana Telenor menantang junta Thailand atas perintah untuk memblokir akses media sosial. Pada waktu yang hampir bersamaan, Telenor mendaftarkan pelanggan pertamanya di Myanmar.
CEO Telenor pada saat itu, Jon Fredrik Baksaas mengatakan kepada Reuters bahwa, Telenor telah berpikir banyak tentang risiko bahwa eksperimen Myanmar dengan demokrasi tidak akan bertahan lama.
"Tapi kami berpendapat pada saat itu, ketika kami masuk ke perusahaan barat yang memberikan telekomunikasi di suatu negara, kami berdiri juga dengan tanggung jawab, dan sedikit jaminan bahwa semuanya dilakukan dengan benar," kata Baksaas.
Posisi Telenor mendapat dukungan internasional, pada saat Barack Obama menjadi Presiden AS pertama yang mengunjungi Myanmar pada 2012. Ketika itu junta militer secara resmi dibubarkan dan pemerintahan semu sipil telah dilantik.
Pemerintah Norwegia, yang memiliki saham mayoritas di Telenor, telah lama mendukung demokrasi di Myanmar. Pada1991, Komite Nobel Norwegia memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Aung San Suu Kyi. Suu Kyi yang memenangkan suara dalam pemilihan umum tahun lalu, ditangkap oleh militer ketika melancarkan kudeta pada 1 Februari.
Telenor adalah salah satu dari dua operator asing yang diberikan lisensi pada 2013, bersama Qatar's Ooredoo. Operator lain di Myanmar adalah MPT dan Mytel yang didukung negara, yang sebagian dimiliki oleh perusahaan yang terkait dengan militer.
Sekitar 95 perden dari 187 juta pelanggan Telenor di seluruh dunia berada di Asia, dan memiliki sekitar 18 juta pelanggan di Myanmar.
Bagi Telenor, menjalankan bisnis di Myanmar memiliki tantangan, termasuk mencoba menghindari hubungan komersial dengan militer. Mantan CEO Baksaas mengatakan, selama beberapa minggu pertama setelah mulai beroperasi di Myanmar, staf harus duduk di lantai kantor karena Telenor menolak untuk membayar suap kepada petugas bea cukai untuk furnitur yang diimpor.
Baksaas juga mengatakan, mereka harus menavigasi risiko korupsi saat memperoleh tanah untuk membangun menara seluler. Kemudian ada urusan dengan militer, yang kepentingan ekonominya berkisar dari tanah hingga perusahaan yang terlibat dalam pertambangan dan perbankan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: