GoTo Meluncur, Bisnis Teknologi Indonesia dalam Ancaman Oligopoli
GoTo resmi terbentuk pada Senin (17/5/2021) lalu. Grup usaha gabungan tersebut merupakan bentukan dari dua raksasa teknologi Tanah Air, Go-Jek dan Tokopedia. Total nilai valuasi entitas ini tidak tanggung-tanggung, mencapai US$18 miliar (setara Rp252 triliun).
Grup GoTo sendiri dipimpin oleh perwakilan masing-masing dari Gojek dan Tokopedia. Andre Soelistyo dari Gojek menjabat sebagai CEO Grup GoTo dan Patrick Cao dari Tokopedia sebagai Presiden GoTo.
Baca Juga: GoTo Lahir, Bagaimana Nasib OVO?
Andre pun memimpin bisnis pembayaran dan layanan keuangan bernama GoTo Financial. Sementara Kevin Aluwi akan tetap menduduki jabatan CEO Gojek dan William Tanuwijaya sebagai CEO Tokopedia.
Menjadi superapp (aplikasi serba ada) kebanggaan Indonesia, GoTo menyasar layanan on-demand, keuangan, dan e-commerce. Layanan on-demand terdiri dari produk-produk Gojek, yakni GoRide, GoCar, GoFood, GoPlay, dan lain-lain. Adapun layanan keuangan mencakup GoPay, GoSure, Moka, dan sebagainya. Sementara e-commerce meliputi berbagai produk Tokopedia, yakni Tokopedia Salam, TokoCabang, Tokopedia Parents, dan lain-lain.
Usai merger, GoTo dikabarkan tidak lama lagi akan melakukan pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO) melalui skema dual listing, tercatat di dua bursa saham sekaligus. Di Bursa Efek Indonesia (BEI) pastinya. Sayangnya, belum diketahui bursa satu lagi di luar BEI.
Merger dua unicorn kebanggan Indonesia tersebut memang disambut dengan sentimen positif pasar. Bahkan GoTo dikadang-kadang akan membawa potensi ekonomi digital Indonesia semakin membaik. Bak dua sisi mata uang, rupanya merger ini justru dinilai membuka peluang dominasi pasar digital oleh segelintir pemain atau oligopoli serupa Amerika Serikat dan China.
Memicu Oligopoli
Managing Partner Inventure Yuswohady melihat ancaman oligopoli dari merger Gojek-Tokopedia. Menurutnya, Grup GoTo bisa memicu oligopoli seperti yang terjadi di AS dan China. Di AS, pasar digital dikuasai oleh Google, Amazon, Facebook, dan Apple atau dikenal sebagai The Big Four. Sementara di China dikuasai oleh The Big Five: Alibaba, Tencent, Baidu, ByteDance, dan JD.
Pola serupa bisa saja terjadi di Indonesia pascamerger Gojek-Tokopedia. Jika pasar dikuasai oleh segelintir pemain teknologi raksasa (tech giants), perusahaan rintisan di luar mereka bakal kesulitan untuk berkembang.
"Di kalangan venture capital, fenomenanya disebut kill zone, di mana tech giants melakukan predatory tactics yang memiliki dua tujuan: menggurita dan menggelembungkan market cap (kapitalisasi pasar)," bebernya seperti dilansir dari akun Instagram pribadinya, beberapa waktu lalu.
Yuswo menjelaskan, psinsip predatory tactics terhadap perusahaan rintisan umumnya dilakukan dengan dua cara: eat dan kill. Metode eat dilakukan dengan mengakuisisi lalu mengintegrasikannya ke platform pelaku tech giants. Contohnya ketika Facebook mengakuisisi WhatsApp dan Instagram saat mereka masih merintis.
Hal ini serupa dengan Google yang membeli Picasa lalu mematikannya dengan Google Photo. Cara yang kedua adalah kill. Metode ini dilakukan dengan melakukan clone product atau mengaplikasikan fitur yang dimiliki kompetitor ke dalam platform mereka sendiri. Metode ini dapat dilihat pada hubungan Snapchat dan Facebook.
Awalnya, Snapchat merupakan platform yang cukup populer digunakan oleh banyak orang. Namun, Snapchat menolak ketika Facebook menawarkan untuk membeli platfrom tersebut. Kemudian Facebook mengkloning fitur unik Snapchat dan mengaplikasikannya di WhatsApp dan Instagram. Alhasil, banyak pengguna yang berpaling dari Snapchat.
Yuswo meyakini taktik inilah yang akan digunakan oleh GoTo untuk menggurita dan menggelembungkan kapitalisasi pasar. GoTo akan menciptakan kill zone, sebuah area bisnis yang tidak mungkin dimasuki perusahaan rintisan baru karena peluangnya sudah ditutup oleh praktik predatory tactics para pelaku besar. Makin luas area kill zone, makin kecil ruang bagi perusahaan rintisan untuk hidup dan berkembang.
"Praktik ini akan menjadi mimpi buruk bagi tumbuh dan berkembangnya startup di Indonesia. Ia akan mengebiri perkembangan startup," ujarnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengamini pernyataan Yuswo. Alumnus UGM ini menjelaskan penggabungan Go-Jek dan Tokopedia akan menciptakan dominasi para pelaku besar atau oligopoli di bidang ekonomi digital.
"Saya rasa kompetisi ekonomi digital di indonesia akan berpusat pada segelintir pemain besar yaitu GoTo, Grab, dan Shopee, sehingga menciptakan skema pasar oligopoli," ujar Bhima, dilansir dari KrAsia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: