Pemerintah China diperkirakan akan segera phase out dari minyak kedelai dan beralih ke minyak sawit.
Kebijakan ini muncul setelah hasil survei Beijing Institute of Technology menunjukkan bahwa 59 persen masyarakat China menolak mengonsumsi kedelai transgenik atau Genetic Modified Organism (GMO), baik secara langsung maupun dalam kandungan produk pangan yang dihasilkan industri pangan.
Baca Juga: Wujudkan Hubungan Industrial Sawit Kondusif, Berikut 7 Saran Menaker
Peralihan ini menyusul minyak hewani yang sudah lebih dulu ditinggalkan oleh masyarakat China akibat penyakit African Swine Fever dan dampak minyak hewani pada kesehatan.
“Nah, pergeseran konsumsi dua sumber nutrisi minyak atau lemak ini tentu menjadi peluang pasar yang lebih besar bagi minyak sawit di masa depan,” seperti dilansir dari laman elaeis.co.
Data mencatat, setiap tahunnya, China mengimpor sekitar 70 juta ton kacang kedelai, khususnya dari Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Namun ternyata, sekitar 90 persen dari kedelai impor tersebut merupakan kedelai transgenik. Kacang kedelai ini sebagian besar digunakan untuk industri pangan dan industri catering yang produknya dikonsumsi oleh masyarakat China.
“Kalau oleh isu GMO ini kemudian membuat 50 persen konsumsi minyak kedelai di Tiongkok berkurang, berarti ada sekitar 7 juta ton tambahan pasar bagi minyak goreng sawit. Tambahan pasar ini hampir setara dengan pasar minyak sawit di Uni Eropa (UE),” seperti dilansir dari laman elaeis.co.
Peluang pasar yang cukup besar ini akan lebih baik jika dimanfaatkan Indonesia, yakni dengan fokus pada diplomasi ekonomi dan perdagangan ke China (selain India). “Apalagi semua driver yang dapat meningkatkan konsumsi minyak sawit, seperti populasi penduduk, pendapatan, pangsa penduduk perkotaan dan subsitusi minyak kedele ke minyak sawit sedang bertumbuh di Tiongkok,” seperti dilansir dari laman elaeis.co.
Perlu diketahui, populasi penduduk China lebih dari 1,4 miliar orang, yang mana sekitar 64 persen berada di daerah perkotaan. Dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen, akan membuat industri pangan dan industri catering di negara tersebut bertumbuh cepat.
Pertumbuhan industri tersebut akan memicu peningkatan kebutuhan oleofood berbasis minyak sawit. Selain itu, jarak Indonesia-China yang lebih dekat akan membuat biaya transportasi lebih murah dibandingkan ke Uni Eropa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: