Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Disiapkan Dana Rp24 Triliun, Sinergi BRIN Harus Optimal

Disiapkan Dana Rp24 Triliun, Sinergi BRIN Harus Optimal Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rencana peleburan empat lembaga Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) masih menjadi kontroversi.

Selain bertentangan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), langkah ini dinilai kemunduran di bidang riset dan teknologi nasional. 

Anggota Komisi VII DPR-RI yang juga Wakil Ketua Pansus Sisnas Iptek, Andi Yuliani Paris, dalam webinar Model Integrasi BRIN Jumat (18/6/2021) mengungkapkan, pada pasal 14, UU Nomor 18/2019 disebutkan bahwa penyelenggara Iptek terbagi dalam 5 kelompok yaitu Pendidikan, Penelitian, Pengembangan, Pengkajian dan Penerapan.

Sementara pada pasal 42 Kelembagaan Iptek juga terdiri dari 5 kelompok yaitu Penelitian dan Pengembangan, Pengkajian dan Penerapan, Pergurian Tinggi, Badan Usaha dan Lembga Penunjang. 

Berdasarkan mandat tersebut maka Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merupakan lembaga-lembaga yang tertera dalam UU Sisnas Iptek sebagai Lembaga dan Kelembagaan penyelenggara Iptek.

Adapun tugas BRIN tertera dalam Pasal 48 UU No 11/2019 merupakan lembaga yang berperan menyinergikan dan mengarahkan Lembaga dan Kelembagaan Iptek dari sisi anggaran maupun perencanaan program diantara lembaga-lembaga penyelenggara Iptek tersebut. 

“Jadi BRIN bukan satu-satunya Lembaga Iptek dan tidak berperan sebagai penyelenggara Iptek tapi seharusnya berperan untuk mensinergikan dan mengarahkan lembaga Iptek agar output yang dihasilkan bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan negara,” ujar Anggota Fraksi PAN itu. 

Dikatakan, saat ini terdapat dana sebesar Rp24 triliun yang tersebar di bagian Litbang Kementerian yang bisa dioptimalkan oleh BRIN, sebab penelitian yang dilakukan kemungkinan tumpeng-tindih antara yang satu dengan yang lain.

Peran BRIN disini bisa menyinergikan dan mengarahkan agar anggaran tadi bisa lebih efektif, apalagi 4 LPMK yang rencananya dilebur justru punya output yang lebih maju dan jelas bagi negara. 

“Hati-hati menghilangkan 4 lembaga ini, mereka bahkan telah berperan sebagai Badan Layanan Umum yang menghasilkan pendapatan bukan pajak bagi negara. Intinya BRIN ini bukan pelaksana atau penyelenggara Iptek tapi mandatnya berperan untuk mengkoordinasikan, mengarahkan terkait perencanaan dan anggaran lembaga Iptek, apalgi tidak ada mandate peleburan dalam Sisnas Iptek,” tegasnya.

Sementara itu Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sofian Effendi menilai UU No 11/2019 sudah cukup baik dan lengkap mengatur lembaga dan infrastruktur Iptek, sehingga Perpres No 33/2021 seharusnya mengacu ke UU tersebut, apalagi yang terkait pembubaran atau peleburan 4 lembaga Iptek dimaksud.

Karena itu harus dipertimbangkan untuk revisi Perpres sebab inkonsistensi dengan UU No 11/2019 dan pembubaran 4 lembaga Iptek tidak akan menghasilkan implementasi kebijakan yang bagus buat kemajuan Iptek. 

Hal senada disampaikan oleh Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra. Menurutnya pembubaran 4 LPMK merupakan degradasi Iptek, dia bahkan memandang peluang BRIN untuk berkembang relative kecil, praktis hanya 1,5 tahun efektif berjalan. Sebab tidak lama lagi pemerintah akan sibuk dengan urusan politik jelang Pemilu 2024. 

“Jadi tidak mungkin dalam waktu singkat 4 LPMK dibubarkan lalu dikonsolidasikan, saya nggak melihat itu akan bermanfaat, sebaliknya Langkah mundur,” ujar Azyumardi. 

Sementara, Andi Yuniani Paris, Guru Besar UIN tersebut memandang, kalau dipertahankan tetap ada, BRIN seharusnya hanya menjalankan fungsi koordinasi dan Lembaga sinergi.

Adapun Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Indroyono Soesilo lebih menyotori rendahnya anggaran dalam pengembangan Iptek, serta minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan bagi para peneliti/perekayasa pada 4 LPMK. 

Menurutnya kemajuan Iptek Iptek di negara-negara maju karena urusan lembaga Iptek langsung ditangani pimpinan nasional dengan alokasi anggaran yang besar.

Contohnya, Amerika Serikat yang mengalokasikan US$ 612,71 miliar atau 3,1% PDB untuk pengembangan R&D, lalu Tiongkok sebesar 514,79 miliar atau 2,2% PDB, kemudian Jepang sebesar 172,61 miliar atau 3,2% PDB untuk pengembangan R&D di tahun 2019.

Sementara posisi Indonesia berada di peringkat 44 dunia dengan alokasi anggaran sebesar US 2 miliar atau setara 0,1% PDB. 

Menurutnya di negara-negara maju dana R&D mayoritas bersumber dari pihak swasta, seperti di Korea Selatan dimana 80% merupakan kontribusi swasta dan hanya 20% dari anggaran negara, begitu pula dengan AS dimana negara hanya menggelontorkan 30% dari total dana R&D sisanya 70% merupakan partisipasi swasta.

Kondisi berbeda terjadi di Indonesia dimana sekitar 80% dana R&D bersumber dari APBN dan hanya 20% dari swasta dan pihak lain. 

“Ini ciri negara berkembang dimana sumber pendanaan Iptek mayoritas masih dari pendanaan negara,” urainya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: