Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Terkait Bahaya BPA, Data Berbagai Ahli Dunia Terus Bertambah

Terkait Bahaya BPA, Data Berbagai Ahli Dunia Terus Bertambah Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan Roso Daras menyampaikan hasil penelitian terbaru mengenai bahaya BPA, yang dipublikasikan melalui jurnal kesehatan dunia pada tanggal 1 Juni 2021 menyampaikan hasil penelitian Dr Deborah Kurrasch.

Penelitian Kurrasch selama dekade terakhir telah berfokus pada bahan kimia yang dapat dikenali secara luas: Bisphenol A, juga dikenal sebagai BPA. Bahan kimia ini umumnya ditemukan dalam plastik, pelapis makanan kaleng, dan bahkan kuitansi termal. Studi terbaru dari laboratorium Kurrasch, yang diterbitkan di Science Advances, menunjukkan bahwa kewaspadaan berkelanjutan diperlukan.  Baca Juga: Komnas Anak: Pilihlah Produk Kemasan Plastik Berizin BPOM

Release terbaru mengenai bahaya BPA ini, melengkapi penelitian sebelumnya, yang dalam waktu 6 bulan di tahun 2021 ini, sudah ada 3 penelitian yang dipublikasikan pada jurnal international, yaitu: 

Pada bulan Januari 2021 lalu Peneliti gabungan dari Thailand, Jepang dan USA merilis hasil penelitian efek paparan bisphenol A prenatal pada gen terkait autisme dan hubungannya dengan fungsi hipokampus. Hasil dari penelitian tersebut adalah Paparan BPA sebelum melahirkan yang lebih tinggi diduga meningkatkan risiko autisme.  Baca Juga: Dukung Pelestarian Lingkungan, Herbalife Gelar Program Workshop Daur Ulang Sampah Plastik

- 15 April 2021, situs web sains, Neuroscience News.Com merelase berita mengenai hasil penelitian terbaru mengenai efek dari BPA dan BPS. Tim peneliti Bayreuth yang dipimpin oleh Dr Peter Machnik, melakukan penelitian mengenai Kerusakan Otak Terkait Senyawa Umum Dalam Benda Plastik Sehari hari. 

Terkait dengan bertambahnya jumlah penelitian yang menyatakan BPA berbahaya, ketua JPKL Roso Daras menyesalkan pernyataan Eko Hari Purnomo, Pakar Teknologi Pangan IPB yang mengatakan bahwa BPA tidak berbahaya bagi kesehatan seperti yang disampaikan dalam sebuah tayangan televisi pada 22 Juni 2021 lalu. 

Menurut Roso Daras, ada beberapa hal yang kurang tepat. 

"Beliau menyampaikan bahwa BPA tidak berbahaya bagi kesehatan tidak berdasarkan penelitian, hanya berdasarkan ketentuan BPOM batas migrasi 0.6 bpj, Tapi tidak melakukan penelitian. Berbeda dengan JPKL yang telah melakukan kajian dari peneliti, jurnal nasional dan  internasional, serta referensi regulasi terkait larangan BPA di beberapa negara maju. Selain kajian, JPKL juga telah meminta salah satu laboratorium yang terakreditasi untuk menganalisa migrasi BPA dengan acuan standard SNI yang telah ditetapkan BSN di dalam menganalisa migrasi BPA, dan hasilnya memang di atas batas toleransi yang ditetapkan oleh BPOM. Dan perlu saya sampaikan bahwa kajian dan analisa lengkap terkait BPA telah JPKL sampaikan secara resmi ke BPOM," ungkap Roso Daras, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/6/2021).

Selain itu, Roso juga menyoroti disiplin ilmu Eko yang sebagai pakar pangan. Padahal soal migrasi BPA akan lebih tepat kalau yang bicara pakar plastik. 

"Karena Itu bisa menyesatkan," cetus Roso. 

Roso juga menambahkan bahwa apa yang disampaikan Eko Hari Purnomo semestinya disampaikan oleh BPOM langsung. 

"Itu bukan ranah beliau. Sedangkan BPOM hingga saat ini belum menyampaikan apakah sudah meneliti lagi atau belum," tandas Roso Daras. 

Pendapat para ahli dunia yang menyatakan zat BPA berbahaya telah masuk dalam jurnal international, di tahun 2021 ini saja sudah di release 3 jurnal kesehatan seperti yang disampaikan diatas. 

Belum lagi penelitian pada tahun - tahun sebelumnya. Bahkan di Indonesia sendiri Jejaring Laboratorium Pengujian Pangan Indonesia (JLPPI) memberikan rekomendasi yang menyatakan bahwa regulasi mengenai migrasi BPA masih sangat minim padahal bahaya BPA selalu membayang bayangi konsumen terutama produk yang kemasannya terbuat dari plastik Polikarbonat. Lab yang terkumpul dalam JLPPI, ini menyadari masih kurang nya infrastruktur dalam pengujian BPA tersebut terlebih sudah mulai banyak kemasan yang mengklaim bahwa kemasannya BPA Free 

Bahkan jauh sebelumnya Pada tahun 2013, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia melakukan suatu Kajian Sistematis Dampak Pajanan Bisphenol A (BPA) terhadap Sistem Reproduksi dan Perkembangan Manusia. Kesimpulan yang dapat diambil dalam kajian itu adalah BPA memberikan dampak yang buruk terhadap organ reproduksi manusia. Juga terdapat saran, bagi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) 

1. Melakukan pembatasan penggunaan BPA pada produk kemasan pangan bayi dan anakanak serta pada wanita hamil 

2. Memberikan sosialisasi terkait penggunaan produk kemasan atau wadah makanan yang mengandung BPA 

3. Bagi bayi dibawah tiga tahun dan wanita hamil, sebaiknya tidak menggunakan produk atau wadah makanan dengan bahan BPA dan dapat diganti dengan botol kaca. 

4. Bagi orang dewasa, sebaiknya mengurangi penggunaan produk plastik mengandung BPA dan menghindari memegang langsung bukti pembayaran menggunakan kertas termal. 

5. Melakukan studi biomonitoring pajanan BPA di Indonesia untuk mengetahui kondisi pajanan BPA terhadap masyarakat Indonesia. 

"Saya heran, menurut catatan kami, Sdr. Eko yang belum melakukan penelitian dan masuk dalam jurnal kesehatan nasional dan internasional, bisa menyatakan bahwa BPA aman? Atas dasar apa Sdr. Eko menyatakan hal tersebut? Ini yang patut dipertanyakan. Seharusnya sdr. Eko sebagai pakar dapat mempelajari, memahami hasil penelitian sebelumnya dan kebijakan-kebijakan negara maju di dalam melindungi kesehatan konsumen, terutama pada usia rentan seperti bayi dan balita. Sdr. Eko sebagai kapasitas pakar seharusnya dapat lantang bicara perlu adanya Label peringatan konsumen, guna melindungi bayi dan anak sebagai generasi muda Indonesia yang tumbuh kembang sehat dan cerdas," tegas Roso Daras. 

Eko menegaskan, BPA tidak membahayakan kesehatan, dan belum ada hasil penelitian atau literatur yang membuktikan pelepasan BPA di galon guna ulang berbahaya bagi kesehatan. 

“Yang membuat bahaya itu bukan hanya sekadar bahannya, tapi juga dilihat dari konsentratnya. Kalau bicara aman atau tidaknya tergantung jumlah konsentrat yang ada dalam kandungannya,” ujarnya.

Ia juga menekankan, ada batasan BPA maksimal yang bisa lepas dari kemasan. Dan BPOM telah menetapkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) dari kemasan PC. Dan erdasarkan hasil pengawasan BPOM terhadap kemasan galon AMDK yang terbuat dari Polikarbonat selama lima tahun terakhir menunjukkan migrasi BPA dibawah 0,01 bpj (10 mikrogra/kg) atau masih aman. 

“Hasilnya masih dibawah ambang batas. Begitu pula saat dilakukan pengujian di air. Sangat kecilnya kemungkinan terjadinya migrasi BPA ke dalam air yang ada dalam galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat (PC). Jadi kenapa ini masih diributkan,” paparnya. 

“Suhu memang bisa berpengaruh terhadap pelepasan, tapi dalam proses distribusi yang normal kan nggak mungkin galon kemasan isi ulang akan ditaruh di tempat yang langsung terpapar sinar matahari,” tandas Eko. 

"Ini juga pernyataan menggelikan dan mengherankan, apakah sdr.Eko pernah mengikuti bagaimana distribusi galon isi ulang dari pabrik hingga sampai ke konsumen? Sepanjang jalan diatas truk terbuka terjemur matahari, belum di depo dijemur juga. Memang ya galon itu diangkut pakai sedan ber-AC sehingga tidak kena panas?, seharusnya beliau sebagai pakar, dapat melakukan survey dan melihat kondisi langsung di mata rantai distribusi,apa yang terjadi selama ini," tutur Roso Daras. 

"Selain itu jika memang BPA aman, menurut sdr.Eko,  mengapa beberapa negara maju melarang penggunaan kemasan mengandung BPA, berkontak langsung dengan makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh bayi dan balita? ini yang menggelikan dan mengherankan dari pernyataan sdr.Eko selaku pakar," pungkas Roso Daras.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: