“Hal itu harus diverifikasi supaya sejalan juga dengan tokoh agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),” katanya.
Dia menambahkan, begitu juga jika ada tokoh kesehatan, entah itu dokter, perawat, bidan atau bahkan tenaga kesehatan lainnya, yang memberikan perspektif terkait COVID-19, maka informasi tersebut harus diselaraskan apakah tokoh kesehatan ini mewakili institusinya, profesinya, atau ada di bawah lembaga yang betul-betul kredibel.
Hal tersebut agar bisa ditelusuri kapasitasnya. Atau misal ada tokoh masyarakat yang memang terlibat di dalam penanganan pandemi COVID-19, atau hanya opini yang berkembang di luar dari upaya pengendalian COVID-19.
“Kemampuan kita memverifikasi dari sumber resmi, itu yang akan memudahkan kita juga mempertanggungjawabkan apa yang menjadi materi atau bahan dari diskusi,” katanya.
Termasuk dalam hal ini adanya berita debat tentang obat, dr. Hermawan menyebut, mana yang sudah direstui, mana yang tidak, mana yang efektif mana yang tidak, serahkan kepada otoritas seperti BPOM yang berwenang melakukan clinical review approval.
Ketika BPOM menyampaikan bahwa vaksin itu efektif, bahwa obat itu bisa digunakan sesungguhnya disitulah wilayah yang paling bijak sebagai warga masyarakat supaya bisa menerima dan menyaring berita.
“Kita harus sadar, COVID-19 ini masih ada di sekitar kita. Kita harus sadar bahwa kenaikan kematian dan kesakitan masih berlangsung di sekitar kita. Maka COVID-19 ini walaupun tidak kasat mata penyebabnya, tapi dia nyata,” tegas dr. Hermawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajria Anindya Utami