Situasi Sulit Timur Tengah, Taliban Akan Dapat Teman atau Malah Musuh?
Hubungan Iran dengan Afghanistan dan Taliban juga telah berubah selama bertahun-tahun. Penulis tentang kebijakan luar negeri Taliban dan direktur Penelitian Perdamaian Institut Oslo (PRIO), Kristian Berg Harpviken, menyebut kemungkinan ada lebih banyak resonansi ideologis antara Taliban dan Saudi.
"Tetapi dalam hal hubungan diplomatik, hubungan dengan Iran sekarang jauh lebih berkembang. Keduanya hampir berperang pada 1988, orang Iran tidak melupakan itu. Tapi mereka sangat pragmatis," kata dia.
Baca Juga: Badan Atom Dunia: Iran Kebut Pengayaan Uranium Tingkat Senjata Nuklir hingga 90%
Brigade Fatemiyoun disebut mewakili aspek pragmatisme yang berpotensi mengkhawatirkan. Pasukan itu terdiri dari Muslim Syiah Afghanistan yang mencari perlindungan dari penganiayaan Taliban di Iran. Mereka telah dilatih dan diperlengkapi oleh Iran dan tampaknya bertempur di Irak dan Suriah, dengan kemungkinan jumlah mereka ada sekitar 60 ribu orang.
Dalam wawancara Desember 2020, Menteri Luar Negeri Iran Javid Zarif mengisyaratkan beberapa anggota Brigade Fatemiyoun mungkin sudah kembali ke Afghanistan. "Jika oposisi terhadap Taliban muncul di Afghanistan, itu tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan eksternal yang komprehensif," kata Harpviken.
Ia lantas mempertanyakan apa yang terjadi di Riyadh saat ini dan bagaimana mereka melihat semua kejadian yang ada. Persaingan Saudi-Iran belum terlalu mencolok di tanah Afghanistan, tapi potensinya tetap ada.
Ketika berkaitan dengan pengakuan resmi atas Afghanistan yang dipimpin Taliban, negara-negara Timur Tengah disebut tidak mungkin berada di garis depan. Pakistan kemungkinan akan menjadi yang pertama.
Seorang penulis penelitian non-partisan Arab Center Washington (ACW), Joe Macaron, disebut menyampaikan kemungkinan negara lain yang menyatakan dukungan dan pengakuannya adalah China, Rusia, Turki dan Iran. Mereka sejauh ini telah mengindikasikan akan mengejar hubungan formal dengan Taliban dan siap mengakui pemerintahan Taliban di Kabul.
Lebih lanjut, Harpviken menjelaskan banyak negara Timur Tengah yang tidak ingin terburu-buru membuat marah AS, terutama setelah beberapa dari mereka menandatangani Kesepakatan Abraham. Tidak akan ada pengulangan tahun 1996, karena saat itu segalanya sangat berbeda.
"Dulu, Afghanistan dianggap sebagai daerah terpencil kebijakan luar negeri. Sekarang, hitung-hitungan bagi negara seperti Arab Saudi atau UEA untuk mengakui mereka (pemerintah Taliban) sudah jelas," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: