Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, memandang RUU KUP berpotensi menurunkan Sovereign Credit Rating Indonesia. Pasalnya, dalam RUU KUP hampir seluruh keputusan aturan di bawahnya langsung diberikan kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK), bukan Peraturan Pemerintah (PP).
"Ini yang menjadi pertanyaan kita semua, UU langsung lompat ke PMK. Ini membuat konsentrasi pembuatan keputusan kita bisa menurunkan Sovereign Credit Rating kita," ujar Misbakhun dalam webinar tentang RUU KUP yang diselenggarakan oleh Tax Centre UI, Jumat (10/9/2021).
Baca Juga: Komisi XI DPR: RUU KUP Gagal Melihat Ekonomi Negara secara Holistik
Hal tersebut disebabkan stabilitas politik merupakan salah satu kriteria dalam metodologi penilaian lembaga rating, seperti Standard and Poor (S&P), yang diperlukan untuk melakukan Sovereign Credit Rating.
Terlebih, pembagian kewenangan dan mekanisme pengambilan keputusan antarlembaga menjadi poin penting dalam asesmen politik. "Makin terpusat, maka makin rentan dengan abuse of power," kata Misbakhun.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa S&P telah mengeluarkan outlook negatif terhadap rating Indonesia sejak April 2020. Penilaian itu dilandaskan prospek ekonomi Indonesia yang memburuk akibat pandemi Covid-19.
"Sekarang prospek ekonomi Indonesia telah menuju pada perbaikan. Namun, outlook negatifnya dari S&P dapat berlanjut kepada downgrade rating karena aspek politik RUU KUP," imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: