Perkara kerugian yang dialami BUMN dan anak usahanya masih sering diperdebatkan karena diasumsikan sebagai kerugian negara, bahkan tak sedikit para direksinya dituntut pidana. Padahal ada alternatif penyelesaian melalui jalur perdata, yakni pendekatan ultimatum remedium.
Wardaya dari Partner K&K Advocates menjelaskan, pendekatan ultimatum remedium merujuk pada Pasal 97 Ayat 6 UU Perseroan Terbatas, yang menerangkan bahwa atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
"Sehingga Para Pemegang Saham dapat mengajukan gugatan derivatif terhadap anggota direksi yang diduga bersalah atau lalai telah merugikan perseroan asalkan tidak terdapat perbuatan melawan hukum dalam kelalaian direksi pada saat menjalankan kepengurusan perseroan," ujar Wardaya, dalam Webinar bertajuk ‘Penerapan Business Judgement Rule dan Administrasi Keuangan Negara dalam Tata Kelola BUMN’ hari ini, Kamis, (16/9/2021).
Baca Juga: Lakukan Transformasi BUMN, Erick Thohir Contohkan Bank Syariah Indonesia, Pertamina, dan Pelindo
Hal ini menjadi penting sebab terkait pertanggungjawaban direksi BUMN, terdapat suatu doktrin dalam tatanan hukum Indonesia yang dikenal dengan doktrin Business Judgement Rule (BJR). Dimana doktrin ini menjadi pilar yang penting bagi perlindungan direksi dalam pengambilan keputusan.
"Doktrin tersebut pada pokoknya mengatakan bahwa direksi tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan pengambilan keputusan dan karena kerugian perseroan," pungkas Wardaya.
Dia memberi contoh aplikasi Business Judgement Rule di Indonesia telah diterapkan dalam kasus PT Pertamina (Persero) yang menyeret sang Dirut Karen Agustiawan. "Dalam kasus ini divonis pengadilan melakukan korupsi. Karen lakukan kasasi dan banding ternyata hakim di kasasi menyatakan dia (Karen) lepas dari tuntutan karena sudah lakukan bisnis judgement rules, ditandai tidak adanya unsur kecurangan, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja," urainya.
Untuk diketahui, Business Judgement Rule merupakan peraturan yang membebaskan manajemen dari tanggung jawab dalam transaksi korporasi yang dilakukan dalam kekuasaan korporasi dan wewenang manajemen, dimana terdapat dasar yang masuk akal untuk menunjukkan bahwa transaksi dilakukan dengan hati-hati dan itikad baik.
"Doktrin BJR bertujuan melindungi direksi selama dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik. Prinsip BJR pun tersirat dalam Pasal 97 ayat 2 UU PT, yakni prinsip kehati-hatian dan Itikad baik. Lalu dalam Pasal 5 ayat 3 UU BUMN menegaskan soal prinsip BJR dalam unsur GCG (good corproate governance)," urai Wardaya.
Baca Juga: Detik-Detik Pelindo Mau Marger, Anak-Anak Usaha BUMN Ini Ngegas Lakukan Ini..
Untuk itu, Wardaya mengemukakan solusi atau upaya preventif dalam mewujudkan tata kelola BUMN yang baik. Antara lain menjalankan tata kelola berdasarkan Anggaran Dasar serta ketentuan internal dan SOP yang telah berlaku. "Terapkan manajemen risiko, sehingga dapat dikatakan bahwa direksi telah patuh dalam menjalankan doktrin BJR," katanya. Serta menguji keputusan yang akan diambil pengurus perseroan berdasarkan parameter prinsip duty of care"
Selain itu, imbuhnya, sebelum mengambil keputusan, jalankan prinsip kehati-hatian dengan menguji keputusan yang akan di ambil dengan parameter yang tepat. "Misalnya keputusan didasarkan pada informasi yang benar, bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Lalumenguji keputusan yang akan diambil secara beritikad baik dan tidak menimbulkan conflict of interest. Dan keputusan yang diambil harus memiliki dasar yang rasional demi kepentingan Perseroan," pungkas dia.
Sementara Dian Puji Nugraha Simatupang, Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menegaskan bahwa BUMN konsepnya adalah kepemilikan (privat) dan bukan penguasaan.
Maka, menurut Dian, negara berkedudukan sebagai pemegang saham atau sebagai pemilik modal, bukan berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan publik atau pengelola keuangan negara pada umumnya. Oleh sebab itu, penyertaan modal negara dilakukan pemisahan, dengan maksud agar tata kelola dan tata tanggung jawab termasuk hak dan kewajibannya berpisah dan berpindah kepada BUMN, tidak kepada negara atau APBN.
"Sebagai pemegang saham, negara tidak sedang mengelola keuangan publik untuk mencapai tujuan bernegara layaknya kementerian atau lembaga, tetapi sedang berbisnis, sehingga penilaiannya bukan authority judgement, tetapi business judgement," jelas Dian dalam webinar yang sama.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: