Kisah Hakim Perempuan Afghanistan yang Bersembunyi dari Kejaran Taliban
Berjuang untuk hak-hak perempuan
Dalam beberapa dekade, Afghanistan selalu berada di posisi pertama negara dengan tingkat kekerasan tertinggi di dunia. Menurut Human Rights Watch, diperkirakan 87% perempuan punya pengalaman mendapat kekerasan selama hidupnya.
Tapi kelompok hakim perempuan, yang bekerja untuk menegakkan hukum bagi pemerintahan sebelumnya, bertujuan untuk mendukung perempuan, membantu mengadvokasi gagasan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan remaja merupakan tindak pidana yang dapat dihukum.
Hal ini termasuk menangkap orang-orang yang terlibat dalam kasus pemerkosaan, penyiksaan, kawin paksa, serta dalam kasus di mana perempuan dilarang untuk memiliki properti atau pergi bekerja atau bersekolah.
Sebagai bagian dari perempuan paling berpengaruh di negaranya, keenam hakim ini mengaku menghadapi kekerasan selama karir mereka, jauh sebelum Taliban mengambil kekuasaan.
"Saya ingin melayani negara saya, oleh karenanya saya menjadi seorang hakim," kata Asma dalam perbincangan di rumah aman.
"Di pengadilan urusan keluarga, saya kebanyakan menangani kasus-kasus perempuan yang ingin cerai atau pisah dari anggota Taliban.
"Ini merupakan ancaman yang nyata bagi kami. Pernah sekali, Taliban melepaskan roket ke gedung pengadilan.
"Kami juga kehilangan seorang teman sekaligus hakim. Dia menghilang saat pulang ke rumah dari tempat kerjanya. Tak lama, mayatnya ditemukan."
Tak ada satu pun pernah ditahan atas pembuhunan itu. Saat itu, pimpinan Taliban di daerah itu membantah telah terlibat.
Wajah baru pemerintahan Afghanistan mengenai hak-hak perempuan masih belum jelas sepenuhnya. Tapi sejauh ini, kelihatannya akan suram.
Semua yang mengisi kabinet adalah laki-laki, tanpa ada yang berkecimpung dalam urusan perempuan. Sementara di sekolah, menteri pendidikan telah memerintahkan murid dan guru laki-laki untuk kembali beraktivitas, tapi tidak bagi staf dan murid perempuan.
Atas nama Taliban, Karimi mengatakan dia belum bisa berkomentar apakah akan ada perempuan yang menduduki posisi hakim di masa mendatang. "Kondisi dunia kerja, dan peluang kerja bagi perempuan masih didiskusikan."
Sejauh ini, lebih dari 100.000 orang telah dievakuasi dari Afghanistan.
Keenam hakim perempuan mengatakan, mereka saat ini sedang mencari cara untuk meninggalkan negara - tapi kendalanya bukan hanya karena kekurangan uang, tapi mereka mengatakan tak semua anggota keluarga dekat memiliki parpor.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: