Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kisah Wonder Woman-nya Afghanistan, Ngotot Kerja, Sekolah, dan Demo untuk Lawan Taliban

Kisah Wonder Woman-nya Afghanistan, Ngotot Kerja, Sekolah, dan Demo untuk Lawan Taliban Kredit Foto: Getty Images/LA Times/Marcus Yam
Warta Ekonomi, Kabul -

Serangan teroris tidak menghentikan Atifa Watanyar dari mengajar. Watanyar justru lebih mengkhawatirkan Taliban. Bahkan, sebelum kelompok militan itu berbaris ke Kabul, guru bahasa Inggris itu sudah terbiasa merasakan ketidakpastian dan sakit hati yang hebat.

Pada awal Mei lalu, Watanyar menyaksikan sekolahnya awut-awutan karena serangan bom. Saat itu, Watanyar hanya berada di pintu masuk sekolah Sayed Al-Shuhada di pinggiran ibu kota Afghanistan dan melihat ledakan di depan gerbang utama. Ketika insiden terjadi, murid-murid Watanyar lari berhamburan dan mencoba melarikan diri ke halaman berdebu. Namun, bom kedua dan ketiga terlanjur meledak. Dalam serangan mematikan itu, sedikitnya 85 orang akhirnya tewas, dan banyak dari mereka adalah gadis-gadis remaja.

Baca Juga: Puluhan Aktivis Wanita Afghanistan Protes ke Kementerian Perempuan Taliban

gal_615c216bc09e46-98865446-46110647.png

Beberapa bulan setelah serangan, Watanyar kembali menemukan dirinya berdiri di pintu masuk yang sama. Sebelum pelajarannya dimulai, ia melihat siswa-siswa perempuan muda berjalan ke lorong, dengan suara yang bergema dari dinding bertuliskan 'Masa depan lebih cerah'.

Namun, kembali ke sekolah saat ini justru membuat Watanyar was-was. Sekali lagi, ia bukan cemas karena bom, tetapi Taliban. 

Pada bulan Agustus, beberapa minggu setelah sekolah dibuka kembali, Taliban meraih kekuasaan dan sekali lagi mengklaim Afganistan sebagai Imarah Islam mereka. Sebulan kemudian, kelompok tersebut secara efektif melarang siswa perempuan dari pendidikan menengah, dengan memerintahkan sekolah menengah dibuka kembali hanya untuk anak laki-laki. 

Kelompok itu mengklaim masih butuh persiapan 'sistem transportasi yang aman'. Menurut mereka, itu diperlukan sebelum anak perempuan kelas 6-12 kembali ke sekolah. Tetapi, alasan yang dilontarkan itu sama ketika mereka berkuasa pada tahun 1996. Saat itu, siswa perempuan akhirnya tidak pernah kembali ke kelas selama lima tahun pemerintahan Taliban.

"Apa yang harus kita katakan? Setiap hari saya melihat Taliban di jalanan. Saya takut. Saya sangat takut pada orang-orang ini," kata Watanyar.

Tidak lagi bisa mengajar murid-muridnya yang lebih tua, Watanyar sekarang berfokus pada gadis-gadis yang lebih muda, memastikan setidaknya di dalam kelasnya, masih ada ruang untuk bermimpi.

"Apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita lakukan? Itu hanya hal yang bisa kita lakukan untuk anak-anak kita, untuk putri kita, untuk anak perempuan kita," ujar Watanyar.

Tidak hanya Watanyar, gadis muda berusia 16 tahun bernama Sanam Bahnia juga terlihat nekat melanjutkan impiannya untuk belajar. Sikapnya menunjukkan keberanian. Padahal, diketahui, Bahnia ikut menjadi korban luka dalam serangan Mei. 

img_615c21f1446398-08304290-15682103.png

"Salah satu teman sekelas saya, yang terbunuh, adalah seseorang yang benar-benar bekerja keras dalam studinya. Ketika saya mendengar bahwa dia mati syahid, saya merasa bahwa saya harus kembali dan belajar, demi ketenangan jiwanya, saya harus belajar dan membangun negara saya, sehingga saya bisa mewujudkan keinginan dan impian mereka," ucap Sanam.

Namun, komitmen Sanam untuk memenuhi janji kawannya itu kini terancam tidak bisa terpenuhi. Sekarang, gadis-gadis sepertinya dilarang Taliban bersekolah. Sanam pun hanya bisa melanjutkan pendidikannya dengan membaca buku pelajaran di sudut rumah. 

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: