Pakar-pakar hukum tata negara dari berbagai kampus di seluruh Indonesia mengkritik langkah advokat Yusril Ihza Mahendra menggugat AD/ART melalui Judicial Review pada Mahkamah Agung (MA).
Langkah hukum Yusril tersebut dinilai sebagai manipulasi intelektual yang berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., Lektor Kepala Hukum Tata Negara UGM, Jogyakarta menandaskan Peraturan itu dibuat oleh Lembaga negara. Bagaimana mungkin partai itu dianggap sebagai Lembaga negara. AD/ART itu konstitusi bagi partai, internal partai. Secara ketatanegaraan mustahil untuk menyamakan AD/ART dengan peraturan perundang-undangan.
"Kan yang bisa dibawa ke Mahkamah Agung itu adalah peraturan perundang-undangan, AD/ART itu bukan peraturan perundang-undangan bagaimana bisa digugat di MA,”
Dari Sumatera Barat, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menegaskan "Mahkamah Agung (MA) tidak berwenang menguji AD/ART parpol karena sifatnya keputusan yang tidak berada di bawah undang-undang. Sesuai teori, AD/ART adalah aturan yang sifatnya hanya mengikat untuk kader parpol yang bersangkutan,”.
Tokoh sentral parpol juga tidak hanya ada di PD saja, tapi juga di partai-partai lainnya termasuk Yusril yang masih menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
Selain itu, pihak yang berhak melayangkan gugatan harus merupakan kader dari partai yang bersangkutan. Sementara, empat orang yang mengajukan gugatan judicial review ke MA sudah tidak lagi berstatus kader Partai Demokrat. Mereka sudah dipecat oleh Ketua Umum AHY karena ikut hadir dalam KLB di Deli Serdang.
"Bayangkan semua warga negara bakal bisa menguji AD/ART parpol mana pun. Stabilitas parpol akan terganggu," tegas Feri.
Potensi anarkisme hukum ini juga menjadi perhatian dosen hukum dari Universitas Islam Indonesia, Jogyakarta , Dr. Luthfi Yazid.
“Jika MA sampai mengabulkan JR terhadap ART Partai Demokrat maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum (legal anarchism), sebab setiap orang dapat mengajukan permohonan JR terhadap AD/ART Partai Politik atau organisasinya sehingga menafikan kepastian hukum,” papar Dr. Luthfi Yazid yang juga Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI).
“AD/ART adalah sifatnya kesepakatan internal Partai Politik, sedangkan yang dapat diajukan Judicial Review adalah regulasi yang dibuat otoritas resmi untuk kepentingan umum,” tandasnya.
Dr. Luthfi menjelaskan setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah objek JR di MA yakni eksistensi norma, relasi, dan implikasinya. “Yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra bukanlah terobosan hukum, melainkan logical fallacy. Apakah ini juga patut diduga sebagai intellectual manipulation?” gugat Dr. Luthfi Yazid.
Menanggapi alasan inovasi hukum yang diajukan penggugat, dosen Hukum Tatanegara Universitas Trisakti, Jakarta, M. Imam Nasef, SH, MH, menegaskan, "Pengajuan AD ART parpol dengan skema uji materi ke MA bukanlah legal breakthrough, tetapi breaking the law. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya sudah ditentukan skema dan jalurnya oleh UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) melalui skema perselisihan partai politik."
Dari Makassar, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Aminuddin Ilmar, SH, MH mengingatkan pengesahan pendirian partai politik, termasuk didalamnya Anggaran Dasar partai politik, telah melalui proses penelitian dan/atau verifikasi oleh Kemenkumham untuk disahkan sebagai badan hukum.
"Kalaupun ada peraturan dan keputusan yang dibuat parpol yang tidak sesuai dengan AD/ART parpol, apatah lagi bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka tentu saja peraturan atau keputusan partai politik itulah yang haruslah diuji, apakah absah ataukah tidak," papar Prof. Aminuddin, "Jadi bukan Anggaran Dasarnya yang harus digugat tetapi peraturan atau keputusan dari partai politik tersebut yang bertentangan," tandasnya.
Berdasarkan teori dan ilmu perundang-undangan, dosen ilmu perundang-undangan Universitas Brawijaya, Malang, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum juga menyimpulkan bahwa Judicial Review tidak bisa dilakukan terhadap AD/ART Partai Demokrat karena tidak termasuk dalam pengertian perundang-undangan.
Dampak dari upaya JR terhadap AD/ART PD ini, berbahaya. "Dengan menggolongkan AD ART sebagai peraturan perundang-undangan maka hanya akan memunculkan dampak Negara turut campur terhadap otonomi parpol dan negara menjadikan parpol sebagai bagian dari negara (supra struktur politik) bukan lagi sebagai bagian dari rakyat (infra struktur politik)," pungkas Dr. Aan Widiarto, yang juga Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: