Pidato Jokowi di KTT COP26 Dikritik Banyak Pihak Dalam Negeri: Presiden Masih Terjebak
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP26) pada Senin waktu setempat. Masyarakat Sipil di Indonesia pun memberikan tanggapan pidato Jokowi yang berdurasi 4 menit itu.
Dalam pidatonya Jokowi mengungkapkan tentang capaian dan komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim. Jokowi juga menyebut bahwa, laju deforastasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82% di tahun 2020. Indonesia juga telah memulai rehabilitasi 3 juta lahan krtitis antara tahun 2010-2019.
Baca Juga: Mengapa Dunia Perlu Kelola Hutan Lebih Baik, Begini Pandangan Jokowi
Greenpeace Indonesia menyayangkan isi pidato Presiden Joko Widodo dalam perhelatan COP 26 di Glasgow, Senin (1/11/2021) waktu setempat, yang tidak memperlihatkan komitmen serius dan ambisius yang merupakan inisiatif pemerintah sendiri.
Sebagai anggota G20 dan bahkan memegang presidensi G20 di 2022, Indonesia seharusnya bisa menjadi contoh bagi banyak negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap energi kotor, mewujudkan nol deforestasi, serta tidak bergantung pada dukungan internasional.
“Sebagai bagian dari 20 ekonomi terbesar di dunia, dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya Indonesia memimpin dengan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonominya. Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim,” ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, dalam keterangannya.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam keterangan tertulisnya, mengatakan, Presiden Jokowi harus tegas mengeluarkan kebijakan pembangunan --termasuk pemulihan ekonomi nasional-- yang konsisten dengan agenda net sink FOLU dan tujuan untuk mengakhiri deforestasi pada 2030.
“Melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa akan membantu Indonesia mencapai aspirasi tersebut. Saat ini masih ada 9,6 juta hektare bentang hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Liston Damanik, Pangkampanye Hutan Greenpeace Indonesia menambahkan, apa yang disampaikan Jokowi adalah penanda buruk bagi Indonesia, bahwa ekonomi Indonesia tidak akan beralih dari industri ekstraktir atau yang berbasis lahan.
"Misalnya ketika mengatatakan biofuel sebagai solusi maka dibutuhkan 9 juta hektare kebun sawit. Ketika bicara transisi energi, tapi tetap akan membangun 13 giga watt pembangkit listrik dari batubara," ujar Liston saat jumpa pers.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto