Pidato Jokowi pada COP26, IESR: Indonesia Tidak Punya Terobosan Aksi Iklim yang Ambisius
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 belum menunjukan ketegasan ambisi atas perubahan iklim.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, yang turut menghadiri perhelatan COP-26 di Glaslow menilai, Pemerintah Indonesia seharusnya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendorong aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris.
Baca Juga: BPDPKS Kenalkan Sawit dan Produk Turunannya Kepada Pemimpin Dunia di COP26
Namun, pada pidatonya di COP 26, Presiden Jokowi seolah menyerahkan tanggung jawab pada negara maju untuk menentukan tercapainya kondisi netral karbon di Indonesia lebih cepat. Fabby menyebut, sikap tersebut dinilainya kurang ambisius dari Pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan krisis iklim.
"Indonesia seharusnya menyampaikan ambisi iklimnya secara lugas, peningkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) dan menyampaikan kebutuhan pendanaan dari negara-negara maju untuk mencapai emisi puncak sebelum 2030 dan dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal. Sayangnya, presiden tidak secara jelas menyatakan target dan rencana aksi mitigasi yang lebih ambisius dalam pidatonya," ujarnya, Kamis (4/11/2021).
Berdasarkan laporan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021, dengan tidak memutakhirkan target NDC pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia lebih besar dari 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) justru akan berkontribusi pada peningkatan emisi selain emisi dari penggunaan lahan hingga 535% di atas level tahun 1990, atau sekitar 1.817 MtCO2e pada tahun 2030.
Sementara, agar tetap di bawah batas suhu 1,5°C, emisi Indonesia tahun 2030 harus sekitar 461 MtCO2e atau setera 61% di atas level tahun 1990. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan ambisi sebesar 1.168 MtCO2e.
'Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam dan mineral yang cukup besar, seperti misalnya nikel, Indonesia sebenarnya mampu untuk menaikkan ambisi iklimnya melebihi target 29% pada 2030," kata Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.
Selain itu, jika Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar telah menerapkan konservasi dan efisiensi energi sejak dini, tanpa kebutuhan pendanaan yang bergantung dengan negara maju, Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon lebih besar dari target yang ada di NDC.
IESR mengamati bahwa rencana Indonesia, yang diutarakan oleh Jokowi pada kesempatan yang sama, untuk bertransisi energi menuju energi bersih masih terkendala pada regulasi yang tak kunjung terbit.
Salah satunya, Jokowi mengemukakan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara. Namun, hingga kini Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap masih tertahan di Kementerian Keuangan. Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) tentang energi baru terbarukan (EBT) yang dinantikan sejak awal tahun 2021, belum juga rampung.
"Seharusnya, Pemerintah Indonesia secara beriringan menerbitkan segera regulasi yang tepat untuk menciptakan ekosistem pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, juga mendorong masuknya investasi negara maju. Regulasi dan target yang jelas dapat membuka peluang yang lebih besar untuk para investor menanamkan modalnya di energi terbarukan," tambah Lisa.
Tidak hanya itu, dalam pidatonya Jokowi juga menekankan pentingnya peranan pasar karbon dan harga karbon dalam menuntaskan persoalan iklim. Bulan Oktober ini, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon bertarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen akan diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas emisi (cap and tax) yang ditetapkan.
Lisa menambahkan, penetapan harga pajak karbon sebesar Rp30 per kg atau US$2 per ton masih sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF yang menetapkan harga pajak karbon negara berkembang seharusnya berada di kisaran US$35-100t/CO2e.
"Bahkan, laporan IPCC memaparkan bahwa tarif pajak karbon di tahun 2020 berada di kisaran US$40-80/tCO2. Dengan kecilnya tarif pajak karbon, tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan melalui pajak karbon ini tidak akan tercapai," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: