Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bikin Miris, Dua Ribu Hektar Hutan di Aceh Rusak Gegara Tambang Emas Ilegal

Bikin Miris, Dua Ribu Hektar Hutan di Aceh Rusak Gegara Tambang Emas Ilegal Kredit Foto: Viva
Warta Ekonomi -

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mencatat, di akhir penghujung 2021 kegiatan pertambangan emas ilegal masih terus terjadi. Aktivitas ilegal itu belum mampu diberhentikan secara permanen. Imbas dari aksi tambang ilegal itu sekitar 2000 hektare hutan di Aceh rusak.

Direktur Walhi Aceh M. Nur mengatakan, saat ini ekspansi kegiatan ilegal tersebut semakin luas dengan terbentuk lubang dan lokasi baru. Sebaran pertambangan emas ilegal itu terdapat di Kabupaten Pidie, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan.

Menurut Walhi Aceh, pertambangan emas ilegal dilakukan dengan dua pola, lokasi tambang yang berada di pegunungan dilakukan melalui membuat lubang secara vertikal dan horizontal. Sementara, pertambangan yang berada dalam kawasan sungai dilakukan dengan pola mengeruk pasir dan batuan menggunakan alat berat dan mesin sedot.

Kehadiran pertambangan emas ilegal ini, juga berdampak serius terhadap kelangsungan lingkungan hidup dan kerusakan kawasan hutan. Baca Juga: Mengapa Dunia Perlu Kelola Hutan Lebih Baik, Begini Pandangan Jokowi

“Dalam kurun 5 tahun terakhir, 2 ribu hektar kawasan hutan rusak akibat aktivitas ilegal tersebut, dan tidak mustahil angka ini terus meningkat seiring dengan lemahnya penegakan hukum untuk menghentikan laju kerusakan,” kata M Nur, Jumat, 12 November 2021.

Meluasnya aktivitas pertambangan ilegal ini, menjadi faktor terjadinya bencana ekologis di Aceh. Bencana itu seperti banjir bandang, longsor, krisis kualitas air bersih, rusak badan sungai, dan konflik satwa-manusia.

Ia menegaskan harus ada upaya serius dari lembaga penegakan hukum untuk menyelesaikan persoalan pertambangan emas ilegal di Aceh.

“Penegakan hukum dan perbaikan tata kelola harus dilakukan sinergi, sehingga tidak terjadi persoalan baru di lapangan. Karena juga harus mempertimbangkan aspek ekonomi masyarakat, sosial budaya, dan kepentingan ekologi,” tuturnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: