Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Suharso Monoarfa: Ketiadaan Haluan Negara Buat Perspektif Pembangunan Memendek

Suharso Monoarfa: Ketiadaan Haluan Negara Buat Perspektif Pembangunan Memendek Kredit Foto: Antara/Fikri Yusuf
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menjelaskan, sebagai orang yang pernah terlibat dalam penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di periode pemerintahan tahun 1982, 1987, 1992, dan 1997, dirinya merasakan manfaat kehadiran GBHN dalam pola perencanaan pembangunan nasional. Namun, sejak amendemen kelima konstitusi tahun 2002, karena keberadaan GBHN dihilangkan, malah muncul kekhawatiran mengenai keberlanjutan pembangunan.

"Ketiadaan haluan negara membuat perspektif pembangunan seakan memendek menjadi hanya pada siklus lima tahunan periode kepresidenan. Menjadikan tidak adanya jaminan pembangunan yang dilakukan di satu periode pemerintahan, dilanjutkan oleh periode pemerintahan penggantinya," ujar Suharso Monoarfa dalam Webinar Series MPR RI bersama Tribun Network Kompas Gramedia, "PPHN Memperkuat Konsensus Sistem Presidensil", secara virtual di Jakarta, Selasa (16/11/2021).

Baca Juga: Bamsoet: Penguatan Sistem Hukum Nasional Harus Jadi Pilar Pembangunan

Turut hadir menjadi narasumber antara lain, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Anggota DPD-MPR RI yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Pengamat Parlemen Sebastian Salang. Hadir pula Direktur dan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network yang juga Moderator Diskusi Febby Mahendra Putra dan Domuara Ambarita.

Suharso Monoarfa menerangkan, sebagai orang yang pernah terlibat dalam penyusunan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjadi dasar Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, dirinya mengungkapkan bahwa suasana kebatinan saat itu, keberadaan RPJPN tidaklah dimaksudkan untuk mengganti apalagi menghilangkan haluan negara. Karena haluan negara memuat aturan secara holistik yang melibatkan seluruh unsur yang merepresentasikan kekuatan bangsa. Sementara, RPJPN memberikan arah bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.

"Ke depannya bangsa Indonesia sangat memerlukan haluan negara sebagai penjabaran lebih lanjut dari UUD Negara Republik Indonesia 1945. Haluan negara juga menjadi menjadi dasar visi dan misi presiden dalam menyusun roadmap, sekaligus benchmarking perencanaan pembangunan jangka panjang, menengah, dan kerja pemerintah selama lima tahunan," terang Suharso.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, rencana MPR RI periode 2019-2024 menghadirkan kembali haluan negara dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), tidak lain juga untuk menyempurnakan bangunan ketatanegaraan Indonesia. Yaitu dengan adanya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia NRI Tahun 1945 sebagai haluan konstitusional negara dan PPHN sebagai kebijakan dasar pembangunan negara.

"Hadirnya PPHN tidak menyebabkan presiden harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada MPR. Tanggung jawab presiden tetap langsung kepada rakyat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. MPR tidak berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden apabila tidak melaksanakan PPHN. MPR hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 Ayat (3) dan Pasal 7B Ayat (1)," tegas Bamsoet.

Bamsoet yang juga Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dari serangkaian diskusi yang dilakukan MPR dengan berbagai kalangan, pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memerlukan PPHN sebagai haluan negara dalam implementasi pembangunan. Berdasarkan rekomendasi hasil kajian Badan Pengkajian MPR bersama Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, bentuk hukum PPHN yang paling ideal adalah melalui Ketetapan MPR.

Bukan melalui undang-undang karena sebagai haluan negara, PPHN harus mempunyai legal standing yang kuat. Tidak dapat dibayangkan jika sebuah haluan negara diatur dalam bentuk undang-undang, yang masih mungkin 'diterpedo' dengan PERPPU, atau diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.

"Bentuk hukum penetapan PPHN juga sebaiknya tidak diatur dalam konstitusi karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat. Karena PPHN bersifat direktif, tidak normatif seperti halnya konstitusi, tentunya materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi," pungkas Bamsoet.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: