Cara Kerja Hybrid Bisa Sukses? Berikut Wawasan Terbaru dari Dell Technologies dan Para Ahli
Dell Technologies hari ini membagikan wawasan untuk membantu organisasi/perusahaan di Asia Pasifik dan Jepang (APJ) untuk menjalani dan memimpin karyawan mereka menuju cara bekerja hybrid di masa depan. Laporan yang berjudul "Memimpin Tenaga Kerja Hybrid Masa Depan (Leading the Next Hybrid Workforce)" ini memaparkan wawasan dari beberapa ahli untuk melengkapi dan menegaskan temuan dari Dell Technologies Remote Work Readiness (RWR) Index yang dipublikasikan awal tahun 2021.
Laporan ini menelaah peran organisasi/perusahaan dalam merancang masa depan cara bekerja hybrid dan merangkum wawasan serta rekomendasi dari empat orang ahli: Dr Julian Waters-Lynch, dosen Universitas RMIT dari Australia; Rochelle Kopp, konsultan manajemen yang berdomisili di Jepang; Dr Rashimah Rajah, dosen Universitas Nasional Singapura (NUS); dan Mallory Loone, co-founder Work Inspires, perusahaan pelatihan dan peningkatan kapasitas karyawan di Malaysia.
Baca Juga: Permintaan Tinggi, Idea Luncurkan Platform Hybrid Learning
"Mempertimbangkan kondisi saat ini di mana bekerja tidak lagi terpaku pada satu tempat atau waktu tertentu, organisasi harus fokus pada hasil dan siap membantu karyawan mereka mewujudkan peran profesional dan pribadi secara efektif, di mana pun mereka bekerja," kata Senior Vice President dan General Manager, Client Solutions Group, Asia Pasifik, Jepang dan China, Dell Technologies, Jean Guillaume Pons, di Jakarta, Rabu (17/11/2021).
Jean juga menjelaskan, seiring dengan upaya bergerak menuju masa depan cara bekerja yang baru, ia harap wawasan dan rekomendasi yang dipaparkan di laporan ini bisa membantu organisasi/perusahaan mewujudkan tenaga kerja hybrid yang-selalu-siap, sesuai dengan kebutuhan bisnis mereka.
Laporan dari Dell Technologies itu juga memaparkan tiga faktor penting yang harus menjadi prioritas perusahaan saat mereka membangun fondasi cara bekerja hybrid yang sukses dan berkelanjutan, yaitu Kepemimpinan, Struktur, dan Budaya Kerja. Berikut penjelasannya:
Faktor 1: Memimpin dengan empati dan tujuan yang jelas
Semua ahli menekankan bahwa pemimpin organisasi/perusahaan memainkan peran penting dalam membangun fondasi masa depan cara bekerja hybrid. Mereka harus dengan jelas dan transparan membuat perubahan-perubahan yang fundamental dan inovatif untuk membawa organisasi/perusahaannya terus maju, tapi mereka juga harus bisa berempati dan memahami berbagai tantangan yang dihadapi pegawai mereka, di antaranya kurangnya komunikasi tatap muka, atau hilangnya batasan antara kehidupan profesional dan pribadi.
Selain itu, para pemimpin organisasi/perusahaan juga harus berusaha membangun kepercayaan para pegawainya dan mengadopsi pola pikir yang berbasis hasil untuk menghindari terjebak ke dalam situasi "pengawasan yang berlebihan" (micromanagement).
Faktor 2: Menciptakan struktur kerja hybrid yang dirancang dengan saksama
Saat ini, organisasi tidak bisa melihat moda bekerja hybrid dari sisi operasional dan teknis saja, apalagi menerapkan model satu-solusi-untuk-semua-organisasi/perusahaan. Sebaliknya, perusahaan harus benar-benar berusaha memahami pilihan dan kebutuhan pegawai untuk membantu mereka sukses dalam lingkungan kerja jarak jauh.
Untuk bersama-sama merancang tempat kerja hybrid yang inklusif, para ahli merekomendasikan pola komunikasi yang lebih terbuka antara pegawai dan perusahaan. Mereka menekankan perlu ada keseimbangan antara moda kerja fleksibel dan reguler, misalnya ada waktu khusus untuk rapat internal, dsb. untuk menjaga budaya kerja dan tetap terjalinnya interaksi sosial.
Faktor 3: Membangun budaya kerja harus direncanakan dengan baik
Para ahli juga menyarankan lebih banyak upaya khusus untuk membangun budaya kerja, pelatihan dan pengembangan diri untuk terus mendorong kreativitas, inovasi, dan kolaborasi. Mereka juga memperingatkan tentang risiko perbedaan budaya kerja (split culture) antara pegawai yang bekerja dari rumah dan mereka yang bekerja di kantor, yang bisa menimbulkan masalah dinamika kantor serta perbedaan persepsi di antara kedua kelompok tersebut.
Mereka menyarankan perusahaan untuk mengubah alokasi anggaran yang sebelumnya digunakan untuk pengeluaran harian kantor menjadi aktivitas interaksi sosial khusus dan rutin antarpegawai, misalnya makan siang bersama atau sesi pelatihan interaktif. Strategi ini bisa membantu menciptakan lebih banyak kesempatan untuk proses pertukaran ide secara organik, serta kesempatan untuk membangun kepercayaan dan mempererat hubungan kerja antar-anggota tim.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: