Namanya Misiran. Tepat empat bulan lalu, usianya telah menginjak 71 tahun. Meski demikian, pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya itu enggan menghabiskan hari-harinya dengan berpangku tangan di rumah saja. Sedari pagi buta hingga menjelang siang, Misiran berjualan nasi bungkus di depan Gelora Bung Tomo (GBT), kawasan Benowo, Surabaya. Selain untuk mengisi kesibukan di masa senja, hasil dari berjualan juga dirasa cukup untuk menghidupi Misiran dan istri serta anak bungsunya, sementara tiga anak lainnya telah menikah dan membangun keluarga sendiri, hidup terpisah dari Sang Ayah.
Tak hanya untuk penghidupan sehari-hari, sisa hasil berjualan ditambah dengan uang pensiun yang diterima setiap bulannya oleh Misiran disisihkan guna merajut mimpinya agar satu saat kelak bisa beribadah haji ke Tanah Suci. Sampai satu saat seorang tetangga kemudian menawarkan investasi yang sangat menjanjikan dengan return mencapai 20 persen per bulan! Dan sayangnya, Misiran tergoda. “Awalnya sih di bulan pertama pembayaran (keuntungan) lancar. Saat itu saya ‘nitip’ uang Rp10 juta. Lalu di akhir bulan, dia (tetangga yang menawarkan investasi) bayar ke Saya Rp2 juta untuk bunganya. Sedangkan (uang) pokok masih di dia. Karena janjinya terbukti, maka Saya tambah lagi Rp10 juta. Jadi total (dana investasi) Rp20 juta,” ujar Misiran, kepada Warta Ekonomi, Senin (29/11).
Dan seperti yang sudah banyak terjadi di berbagai tempat, Misiran menjadi korban penipuan berkedok investasi oleh tetangganya sendiri. Berharap dapat cuan lebih besar lagi lantaran dana investasi yang disetor bertambah, Misiran hanya bisa pasrah saat di bulan kedua Sang Tetangga, sebut saja namanya Indra, sudah semakin jarang di rumah dan susah untuk dihubungi. “Setelah lama kosong, tepat bulan keempat rumahnya (Indra) sudah dipasang tulisan ‘dijual’ oleh orang. Katanya sih adiknya, cuma dia tidak tahu menahu sekarang Abangnya di mana, karena ternyata rumah itu masih atas nama orang tuanya. Mau ke polisi juga susah karena tidak ada perjanjian tertulisnya. Jadi ya sudah. Mau gimana lagi,” ucap Misiran, pasrah.
Kisah serupa namun tak sama juga menimpa Ma’ruf, pegawai di sebuah perusahaan di Jakarta Selatan dengan posisi sebagai staf Human Resource Development (HRD). Berbekal kepercayaan kepada rekan kerja sekantor, Ma’ruf meminjamkan dana sebesar Rp20 juta sebagai modal Sang Teman untuk mengerjakan proyek pengadaan barang di sebuah perusahaan ternama asal Korea. Makin terkesan meyakinkan karena Sang Teman yang bernama Saiful itu dalam kesehariannya seringkali memamerkan sejumlah portofolio saham yang dimilikinya melalui platform perdagangan saham online. “Dia memang suka main saham gitu. Sering cerita cuan gede dari situ terus traktir teman-teman di kantor. Dan dia juga sudah cukup lama kerja di kantor Saya, jadi kesannya gak mungkin lah dia bakal menipu,” ujar Ma’ruf, saat dihubungi terpisah.
Sayang, setelah beberapa bulan Ma’ruf telaten menagih dananya, selalu saja ada alasan bagi Saiful untuk mengelak. Jangankan bunga 10 persen yang telah dijanjikan di awal, modal awal Rp20 juta yang semula disiapkan Ma’ruf untuk bekal pernikahan, terpaksa raib dibawa pergi oleh Saiful yang kian terdesak lantaran Ma’ruf mengancam bakal membawa masalah penipuan investasi ini ke kantor mereka. “Sore ini Saya ancam bakal Saya adukan ke bos soal penipuan ini, eh besoknya dia sudah tidak datang (ke kantor). Saya datangi kontrakannya juga sudah kosong. Info dari tetangga kontrakan, dia sudah pindah dari semalam. Saya sempat kontak rumahnya sesuai arsip kantor, tapi ternyata kata orang tuanya dia (Saiful) sudah lima tahun lebih tidak pulang dan tanpa kabar. Ya sudah, mau dicari ke mana lagi, ujar Ma’ruf pasrah.
Relasi Sosial
Dalam satu kesempatan diskusi, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tongam Lumban Tobing, menyatakan bahwa memang ada celah dalam relasi sosial di tengah masyarakat Indonesia terkait praktik penipuan investasi. Salah satunya adalah kelengahan sebagian masyarakat dalam aktivitas transaksi jual-beli maupun investasi bila dilakukan dengan sosok yang sebelumnya sudah dikenal baik dan dianggap dekat. Misalnya saja masih terbilang saudara jauh, tetangga, teman dekat atau semacamnya. “Jadi memang harus diakui ada kebiasaan-kebiasaan di masyarakat kita yang kadang kurang baik dan perlu diedukasi. Misal dalam kasus pinjol (pinjaman online), jangan salah, ada sebagian kita yang memang dengan sengaja dan sadar pinjam ke pinjol karena kasih pinjamannya besar. Atau kalau soal investasi, kalau sudah urusan dengan orang dekat, suka lupa pentingnya surat perjanjian di atas putih, kalau perlu bermaterai, dan sebagainya. Mentang-mentang kenal dekat, jadi asal investasi saja,” ujar Tongam, dalam sebuah diskusi virtual, beberapa waktu lalu.
Baru kemudian bila terbukti telah ditipu, menurut Tongam, baru yang bersangkutan panik lantaran kelengkapan surat perjanjian dan sebagainya tadi tidak dilengkapi. Bila sudah terjadi demikian, maka tentu proses pelaporan dan juga tindakan lebih lanjut menjadi lebih sulit untuk dilakukan lantaran tidak ada bukti-bukti yang menguatkan bahwa proses investasi tadi telah benar-benar dilakukan. Terkait hal ini, Tongam menyebut bahwa edukasi di masyarakat menjadi satu-satunya jalan yang meskipun ‘panjang’, namun tetap harus dilalui dengan telaten dan juga melibatkan seluruh pihak. “Kami tentu tidak bisa berjalan sendiri untuk soal (edukasi) ini. OJK bisa saja secara berkala mengumumkan lembaga-lembaga investasi mana saja yang tidak berijin, siapa saja daftar investasi ilegal dan semacamnya. Tapi ketika sudah ‘lubang’ di masyarakat tadi, kuncinya adalah edukasi. Dan itu membutuhkan kontribusi seluruh pihak tanpa terkecuali. Semua kita harus ikut (melakukan edukasi). Harus dikeroyok bareng-bareng,” papar Tongam.
Gunung Es
Keterlibatan seluruh pihak sebagaimana disampaikan Tongam, memang tidak bisa lagi dielakkan bila kita melihat fenomena masih juga marak masyarakat di berbagai daerah yang tergiur dan tertipu praktik investasi bodong. Tak main-main, pihak OJK memperkirakan bahwa praktik investasi bodong dalam 10 tahun terakhir telah menyebabkan kerugian di masyarakat Rp117,4 triliun. Angka sebesar itu pun bisa disimpulkan baru semacam ‘puncak gunung es’, mengingat masih banyak kasus di lapangan seperti halnya yang menimpa Misiran dan Ma’ruf, yang karena minimnya legalitas investasi, sehingga tidak dilaporkan pada pihak berwajib.
Karenanya, Sekretaris Satgas Waspada Investasi OJK, Irhamsah, mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tak ragu untuk melakukan pelaporan terhadap setiap aktivitas investasi yang dicurigai sebagai bentuk praktik investasi bodong. Tak hanya oleh korban, Irhamsah juga berharap seluruh masyarakat yang mengetahui praktik penipuan tersebut tengah terjadi di sekitarnya, untuk segera melaporkepada layanan pengaduan Satgas Waspada Investasi OJK. “Dan masyarakat yang mau berinvestasi juga jangan coba-coba untuk berinvestasi di perusahaan tanpa ijin dari instansi terkait. Apalagi berinvestasi ke personal yang tentunya tidak bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Intinya jangan mudah tergiur karena sering kali juga penyedia layanan ilegal ini menggunakan tokoh masyarakat sebagai bagian dari promosi,” ungkap Irhamsah.
Tak hanya itu, Irhamsah juga menegaskan bahwa inklusi keuangan merupakan salah satu indikator penting dalam upaya pemerataan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Karena faktanya, tingkat literasi keuangan di Indonesia masih berada di bawah 40 persen. Satu capaian dan juga tolok ukur yang cukup rendah dibanding dengan negara-negara lain. “Rendahnya literasi keuangan dapat menyebabkan berbagai kerugian finansial dan menjadi pintu masuk bagi para pelaku investasi ilegal atau yang lebih dikenal dengan istilah investasi bodong. Jadi edukasi menjadi kunci utama untuk menutup celah di masyarakat terkait praktik penipuan ini,” tegas Irhamsah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma