Social Welfare
Dan seperti halnya Dewi, dana BPJS Ketenagakerjaan menjadi ‘serum’ yang dapat mewujudkan harapan Rossiana untuk kembali menata ulang mimpinya dengan tidak lagi menjadi pekerja kantoran, melainkan sepenuhnya mandiri sebagai seorang wirausaha.
Terlebih di era pandemi saat ini, banyak Rossiana atau Dewi-Dewi yang lain, yang menjadi terbantu untuk dapat melanjutkan hidupnya saat terpaksa menjadi korban pengurangan tenaga kerja di kantor tempat dirinya bekerja.
Melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021, pemerintah menyediakan sejumlah ‘serum harapan’, mulai dari bantuan uang tunai untuk kelangsungan hidup selama beberapa bulan, pasokan informasi lapangan kerja, hingga pelatihan kerja sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia. Bahkan untuk tahun 2022 mendatang, sedikitnya anggaran sebesar Rp920,71 miliar telah disiapkan untuk menopang skema bantuan JKP ini.
Tak hanya bagi para pekerja yang terkena PHK, kebutuhan atas terciptanya kesejahteraan sosial juga mencakup seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Hal tersebut merupakan salah satu tanggung jawab sekaligus kewajiban negara untuk memberikan perlindungan ekonomi terhadap seluruh rakyatnya.
Dalam diskursus yang lebih luas, ada sebuah konsep tentang welfare state (negara kesejahteraan), yaitu upaya sebuah negara untuk menciptakan satu kondisi di mana masyarakatnya merasakan nyaman, tenteram, bahagia dan tercukupi seluruh hajat dan kebutuhan hidupnya. Kondisi tersebut kemudian dikenal dengan istilah kesejahteraan sosial (social welfare).
Sebuah konsep umum yang meskipun tidak tertulis secara lugas dalam dasar negara Indonesia, namun secara makna dapat dianggap identik dengan yang tertulis pada Sila Kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri memiliki catatan sejarah panjang dalam upaya memenuhi keinginan atas terciptanya social welfare di masyarakat. Dimulai saat diundangkannya UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS) hingga diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1977 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Selain itu, diterbitkan pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK di bawah kendali Perum Astek. Hal ini menjadi milestone awal atas pemenuhan hak-hak pekerja oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Selanjutnya, UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) menjadi milestone berikutnya, di mana pemerintah menyelenggarakan Program Jamsostek guna memberikan perlindungan dasar dan pemenuhan kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya.
PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja pun seiring waktu berevolusi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek), sebagai bentuk penerapan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dengan bentuk perusahaan dan juga aktivitas teknis di lapangan yang terus berubah dan semakin membaik, BP Jamsostek pada intinya tetap tak tergantikan menjadi pihak terdepan dalam upaya pemenuhan social welfare bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berkaca pada prolog yang ada di depan tulisan ini, BP Jamsostek tak ubahnya menjadi wujud nyata dari ‘proyek superhero’ yang berupaya menghadirkan ‘serum harapan’ untuk menjawab segala kebutuhan terkait kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Hadirnya BP Jamsostek, meski mungkin harus disokong dengan politik anggaran yang tidak sedikit, proses kerja yang juga demikian kompleks, keberpihakan berbagai kebijakan yang juga kerap kali kurang popular dan berisiko, namun semua itu tetap harus dilakukan guna mewujudkan Indonesia sebagai sebuah bentuk welfare state sebagaimana yang diidam-idamkan oleh seluruh masyarakatnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Fajar Sulaiman