Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonomi Digital Tumbuh Hingga Rp4.500 Triliun di 2030, Dorong Literasi Keuangan Digital

Ekonomi Digital Tumbuh Hingga Rp4.500 Triliun di 2030, Dorong  Literasi Keuangan Digital Kredit Foto: Unsplash/Rawpixel
Warta Ekonomi, Nusa Dua, Bali -

Memasuki hari terakhir The 3rd Indonesia Fintech Summit (IFS) 2021 di Nusa Dua, Bali, pemerintah dan asosiasi dapat menemukan satu benang merah, yakni terus mendongkrak inklusi keuangan, agar semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan fintech, sementara di sisi lain juga meningkatkan literasi keuangan digital.

Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dalam sambutannya mengungkapkan pentingnya upaya-upaya peningkatan literasi, sembari mendorong peningkatan model bisnis yang ditopang oleh kebijakan yang afirmatif.

Baca Juga: Dorong Ekonomi Digital 2022, Surge Siap Akselerasi Pertumbuhan Bisnis

“Seluruh pemangku kebijakan, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan asosiasi-asosiasi, saya minta untuk berperan aktif dalam membantu terciptanya kebijakan yang afirmatif. Kita ingin bersama-sama memajukan industri ekonomi dan keuangan digital yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” ungkap Wapres.

Upaya-upaya ini tidak lain untuk menyambut perkembangan fintech di masa depan. Wapres juga mengutip proyeksi Kementerian Perdagangan (Kemendag), bahwa sektor keuangan digital akan tumbuh delapan kali lipat di 2030, dari sekitar Rp 600 triliun menjadi Rp4.500 triliun.

Sementara itu, pada sambutannya yang bertema “Innovation and Investment in Indonesia’s Digital Economy and Finance Ecosystem (Inovasi dan Investasi dalam Ekonomi Digital dan Ekosistem Keuangan Indonesia)”, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B. Panjaitan menyatakan bahwa tingkat inklusi keuangan digital di Indonesia sudah berada pada indikator yang sangat baik.

Sayangnya, grafik tersebut belum ditunjang dengan tingkat literasi keuangan, yang menurut Luhut, masih sangat jauh dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

“Berdasarkan data OJK pada 2019 Indeks Literasi Keuangan baru mencapai 30,03% dan Indeks Inklusi Keuangan 76,19%. Angka ini berbanding jauh dari Singapura di angka 98%, Malaysia 85%, dan Thailand 82%. Tingkat inklusi tinggi dengan literasi rendah menunjukkan potensi risiko yang begitu tinggi. Karena, meski masyarakat memiliki akses keuangan, sebenarnya mereka tidak memahami fungsi dan risikonya. Peningkatan literasi menjadi kunci agar tingkat inklusi yang sudah terjadi bisa berdampak lebih produktif dengan risiko minim. Inilah yang jadi pekerjaan kita bersama, antara pemerintah dan asosiasi,” ungkap Luhut.

Pesan dari Queen Maxima IFS 2021 yang digelar selama dua hari berhasil mengumpulkan lebih dari 80 pembicara nasional dan global.

Salah satu pembicara yang ikut urun gagasan adalah Permaisuri Belanda, Queen Maxima, yang juga adalah Advokat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Keuangan Inklusif untuk Pembangunan. Pada pidatonya yang berjudul “Digital Finance Innovation Role in Increasing Global Financial Inclusion (Peran Inovasi Keuangan Digital dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan Global)”.

Queen Maxima menekankan, “Pemerintah punya peranan sangat penting untuk mengembangkan visi untuk masa depan dunia digital, termasuk mengidentifikasi tata kelola yang dibutuhkan dan infrastruktur yang dibutuhkan. Memberikan infrastruktur yang terstandardisasi akan sangat mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satunya yang telah dilakukan di Indonesia dengan inovasi QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang diluncurkan di 2019,” ujarnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: