Analisis Strategi BCA Syariah dan Bank Syariah Indonesia Pascamerger
Oleh: Dr Dayan Hakim NS, SE.AK.MM.CA.
Setahun sudah berlalu semenjak BCA Syariah merger dengan Bank Interim (d/h Bank Rabo) tepatnya tanggal 10 Desember 2020. Dengan modal saham sebesar Rp2,25 triliun dan total asset sebesar Rp9,7 triliun membuat BCA Syariah makin kokoh dalam merambah segmen keuangan syariah. Dengan 15 kantor cabang operasional, BCA Syariah siap melayani nasabahnya.
BCA Syariah yang sudah beroperasi sejak tanggal 2 Maret 2009 memperoleh nilai tambah dari hasil merger tersebut. Jaringan yang cukup luas dan kemampuan layanan digital menjadi nilai tambah bagi BCA Syariah pascamerger. Namun, BCA Syariah masih memiliki tugas berat untuk menghilangkan stigma dari induknya yang dikonotasikan untuk satu kalangan etnis saja.
Baca Juga: BSI dan Fintech Syariah Wujudkan Ekonomi Digital Berbasis Masjid
Menyusul langkah BCA Syariah, sejak tanggal 1 Februari 2021 telah dilakukan merger antara-Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, dan Bank BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia dengan Bank BRI Syariah sebagai surviving entity (BRIS). Bank Syariah Indonesia menjadi Bank nomor satu di antara 14 bank syariah yang ada dengan modal saham Rp22,6 triliun (setara US$1,6 miliar) dan total asset mencapai Rp247 triliun (setara US$17,5 miliar). Saat ini Bank Syariah Indonesia telah memiliki lebih dari 1.100 kantor cabang operasional di seluruh Indonesia.
Bank Syariah Indonesia yang sudah beroperasi sejak tanggal 17 November 2008 sebagai Bank BRI Syariah sebelumnya adalah Bank Jasa Arta. Sejak awal merger, Bank Syariah Indonesia sudah digadang untuk menjadi Top Ten Bank Islam terbesar Dunia. Namun, dalam laporan The Asian Banker tangal 27 Desember 2021 berjudul The Largest Islamic Banks Rankings, Bank Syariah Indonesia masih tercatat sebagai Bank Mandiri Syariah (peringkat 33), Bank BNI Syariah (peringkat 53), dan Bank BRI Syariah (peringkat 55).
Dengan total asset senilai US$17,5 miliar, seharusnya Bank Syariah Indonesia berada di peringkat 15 di bawah Bank Al Jazira dari Arab Saudi (peringkat 14) dengan total asset sebesar US$19,4 miliar sekaligus menggeser Emirates Islamic Bank dari UAE (saat ini peringkat 15) dengan total asset sebesar US$15,8 miliar. Dari Malaysia tercatat ada 3 Bank Islam terbesar dunia, yakni Maybank Islamic (peringkat 4), Bank Rakyat (peringkat 10), dan CIMB Islamic (peringkat 12). BCA Syariah sendiri tercatat pada peringkat 81.
Menjadi top ten Bank Syariah tingkat dunia sudah diperoleh Bank Syariah Indonesia sebagai nilai tambah bagi Bank Syariah Indonesia pascamerger. Pasca Integrasi system IT, Bank Syariah Indonesia akan fokus pada digitalisasi layanan perbankan. Dirut BSI Herry Gunardi (1 November 2021) mengungkapkan bahwa transaksi e-channel bertumbuh 133% yoy dan per September 2021 transaksi e-channel mencapai 162,4 juta transaksi atau 95% dari seluruh transaksi di BSI.
Dari hasil capaian pascamerger kedua bank tersebut, tampak bahwa layanan digital seolah menjadi penting saat ini. Padahal, meningkatkan Dana Pihak Ketiga merupakan bagian utama dari layanan perbankan syariah. Karakteristik nasabah bank syariah terbagi atas 3 jenis, yakni nasabah emosional, nasabah tradisional, dan nasabah rasional. Tentu tujuan Direksi kedua bank syariah tersebut meningkatkan layanan digital adalah membidik nasabah rasional. Meski demikian, nasabah tradisional juga tidak boleh ditinggalkan.
Bank BCA Syariah yang sudah lama beroperasi tentu memiliki nasabah tradisional yang loyal dengan layanan ala BCA Prioritas. Di sisi lain, BRI Syariah dan BNI Syariah juga memiliki nasabah tradisional yang sudah puluhan tahun setia dengan BRI dan BNI. Tantangan besar buat Bank Syariah Indonesia untuk mengintegrasikan layanan prioritasnya ke dalam satu layanan BSI.
Dalam meningkatkan loyalitas nasabah tradisional dapat dilakukan dengan mengikatnya dalam saham kepemilikan. Nasabah tradisional akan merasa nyaman menyimpan dana yang dimiliki pada bank yang dimiliki. Oleh sebab itu, BSI perlu untuk menambah emisi saham publiknya, sedangkan BCA Syariah perlu melakukan IPO untuk menawarkan sebagian sahamnya kepada publik. Dengan membagi sedikit saham kepada nasabah prioritas akan makin mengikat loyalitas nasabah tradisional.
Saat ini porsi saham BRIS yang dimiliki masyarakat hanya 5,64%, sedangkan aturan jumlah saham beredar dalam perusahaan terbuka minimal 7,5%. Dirut BSI (6 Agustus 2021) telah mengungkapkan rencana BSI untuk melakukan right issue tahun depan. Sebelumnya, Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo pernah menyatakan nilai right issue BRIS dapat mencapai Rp7,2 triliun.
Bila BRIS menerbitkan right issue Rp7,2 triliun berarti mencapai 32% dari modal saham yang ada saat ini sehingga kepemilikan publik akan mencapai lebih 35% dari total modal saham. Dengan porsi sebesar itu, akan lebih banyak masyarakat yang ikut memiliki Bank Syariah Indonesia termasuk juga LSM dan lembaga publik lainnya. Hal ini akan mengikat nasabah tradisional untuk menyimpan uang pada bank yang dimiliki. Dengan modal saham Rp22,5 triliun dapat mencapai total asset sebesar Rp247 triliun, maka dengan daya ungkit yang sama, penambahan Rp7,2 triliun emisi saham publik diharapkan dapat menambah Dana Pihak Ketiga sebesar Rp78,48 triliun.
Bagi BCA Syariah, IPO 20% dari total modal saham sebesar Rp2,25 triliun atau senilai Rp440 miliar tentu bukan masalah besar. Dengan modal saham sebesar Rp2,25 triliun dapat mencapai total asset sebesar Rp9,7 triliun, maka dengan daya ungkit yang sama, penambahan Rp440 miliar emisi saham publik diharapkan dapat menambah Dana Pihak Ketiga sebesar Rp1,8 triliun.
Dengan berbagi saham kepemilikan pada nasabah tradisional diharapkan dapat meningkatkan loyalitas nasabah tradisional bank syariah. Inilah karakter nasabah tradisional bank syariah yang perlu dilayani dengan cermat. Hal ini yang membedakan Bank Syariah dengan Bank Komersil. Inilah pilihan strategi yang seharusnya diambil oleh BCA Syariah dan Bank Syariah Indonesia pascamerger.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum