Kebijakan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) menetapkan Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), hingga menentukan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng dirasa akan memberikan efek domino yang cukup panjang.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan sejak diberlakukanya Permendag yang mana mewajibkan pengusaha memenuhi 20 persen kebutuhan domestik ditengah lonjakan harga CPO dunia membuat pengusaha menentukan sikap wait and see.
Baca Juga: Segini Produksi CPO Indonesia yang Tersertifikasi ISPO
Dengan adanya sikap tersebut membuat bahan baku pabrik minyak goreng tidak tersedia karena saling menahan dan berdampak pada perusahaan yang berada di industri CPO serta mengurangi membeli CPO ke petani. Hal ini berdampak langsung pada ekspor yang menyumbang pemasukan yang tidak sedikit.
"Saling menahan sehingga berdampak banyak perusahaan industri CPO mengurangi pembelian CPO ke petani. Ke depan kami khawatir ekspor akan mengalami penurunan dan cenderung sudah dibaca oleh market bahwa harga akan menjual tinggi," ujar Tauhid dalam diskusi virtual, Kamis (3/2/2022).
Kondisi tersebut juga akan berimplikasi pada pungutan ekspor CPO yang mencapai Rp70 triliun, Tauhid menyebut hal tersebut kemungkinan besar akan berdampak terhadap keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
"Jadi bahwa memang kebijakan yang dilakukan pemerintah, terutama Permendag ini dampaknya akan luar biasa ke petani, industri pabrik minyak goreng dan konsumen," ujarnya.
Tauhid melanjutkan, di dalam peraturan tersebut yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana bisa mengefektifkanya, mengingat banyak perusahaan sawit sekitar 2000 dan 800 untuk industri CPO apakah hal tersebut dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak menekan satu pihak dalam rencana sharing the pain atau berbagi beban tersebut.
"Apakah petani yang harus menanggung terutama perusahaan sawit atau juga industri CPO atau juga perusahaan refinari ekspornya atau juga pabrik minyak goreng apakah memang misalnya masing-masing dikurangi keuntunganya secara rata dan adil atau memang sharing the pain yang ternyata akhirnya dibebankan ke Tandan Buah Segar (TBS) baik untuk petani atau perusahaan sawit," ungkapnya.
"Saya kira sharing the pain-nya yang belum ketemu sehingga banyak kemungkinan bahan TBS belum diolah secara optimal pada situasi harga bergelojak seperti sekarang," tambahnya.
Melihat problematika tersebut, maka ini harus segera dicari solusi. Tauhid melihat problem lain adalah sharing the pain ini mampu dilakukan oleh pelaku industri minyak goreng yang disinyalir oligopili ataupun ada monopoli.
Menurutnya titik kritis dari permasalahan ini bersumber dari hal tersebut sehingga dapat menentukan posisi petani dalam menjaga harga TBS tetap stabil.
"Saya kira titik kritisnya di situ termasuk bagaimana menentukan petani punya bargaining posisi yang membuat TBS akhirnya rendah. Padahal aturan dari Kementan itu harga TBS itu runutannya mengikuti CPO," paparnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Alfi Dinilhaq